Wanita
terlalu banyak kalau harus kau cintai. Ssttt, jangan bilang-bilang pada yang lain ya, aku punya rahasia besar tentang
mereka.
“Ini,” sodornya dan pergi begitu saja. Ah, andai
kau tahu betapa hitam biji yang menatapku tadi. Ia terlihat gugup. Sangat
gugup.
“Ah, iya makasih..” kataku setengah teriak karena
ia sudah lumayan jauh didepan. Aku tak terbiasa memanggil nama wanita itu.
Sempat mengungkap tanya siapa pria beruntung yang akan menjadi kekasihnya
nanti, aku tak bisa memahami. Bukan aku. Aku tak kan sebodoh itu, menjadi
lelaki penunggu. Aku bukan pilihan, mungkin.
Ia memberikan naskah teater yang harus kami tekuni
untuk pertunjukan tiga bulan ke depan. Ia mendapat peran utama dan aku seorang
-ya seseorang. Kupikir, kau tak perlu tahu aku sebagai siapa. Disana aku adalah
pemuda yang membantunya berjuang, merengkuhnya yang ditinggal mati oleh
suaminya. Aku mencintainya, secara tidak langsung. Disana. Bukan apa-apa, aku
benci peran itu. Aku akan kekurangan oksigen seperti tadi, saat matanya merasuk
mataku, lagi. Tak lama, ia mengalihkan pandangan sialan itu dariku dan
terburu-buru pergi. Aku tahu, itu terlihat bodoh. Bahkan benar-benar bodoh.
Jam dinding disudut-sudut berlomba menggelinding,
semua sudah memutar kalendernya tiga kali. Ini berarti kampus diliburkan. Raja
siang menyapaku terpaksa, itu haknya. Wanita itu berdiri dan merapihkan rok
kembangnya kemudian duduk manis seperti semula. Ia sudah dua puluh menit berada
disana. Sekali-kali menoleh entah kemana. Kakiku menyeret, membuat putusan.
Aku bergumam. Ia menoleh. Kuangkat alisku setinggi
mungkin, berharap ia mengerti bahasa tubuhku. Ia memiringkan kepalanya, layaknya
bertanya. Kulirik tempat duduk kosong yang satu alas dengannya. Ia mengangkat
bahu lalu memalingkan wajahnya ke arah jalan yang dilewati pengendara-pengendara
pengiri akanku. Aku duduk saja dan melihat ke arah yang sama dengannya. Ini
gila!
Lima menit. Lima belas menit. Para sopir bus yang
melewati halte ini kupastikan bosan melihat kami yang hanya duduk tanpa
menggubris tawaran mereka. Tak ada yang memulai pembicaraan dalam suasana aneh
ini. Baiklah, Ia kucoret dari daftar wanita cantik sekolah. Huh, apa kau benar tak melihatku? Pun
senyum tak diberikannya. Layaknya seorang anak bumi bertemu psikopat.
Mengerikan.
“Aku bukan hantu” ucapku sinis. Ia mengernyit,
setengah kaget dengan ucapanku yang cukup spontan tanpa basa-basi.
“Nunggu siapa sih? Lama..” tanyaku masih tak
melihat wajah yang kupuja itu. Ia menggeleng. Tak peduli atau apa? Dasar,
wanita sulit.
“Kudengar, sudah banyak pangeran-pangeran kampus
yang singgah dihatimu. Hanya itu yang kudengar. Cih, bodoh. Kenapa tak
konsisten saja? Kalau begitu terus, mana ada yang mau denganmu, wanita yang tak
punya pendirian tetap.” Aku tahu, ini akan terkesan sok bijaksana. “Masih
semester lima sudah tahu cinta, lulusin dulu itu kuliahmu. Jangan sok sibuk.”
Spontan. Begitu saja. Aku tak berani benar-benar menatap wanita ini. Ia
menunduk. Menggenggam tangannya sambil sekali-kali melepas jari telunjuk kanan
lalu menggenggam kembali. Kurasa ia terbiasa melakukan itu saat gugup.
“Ssh, diam, udah! Mana tau kamu tentangku. Jangan
sok tau ah kamu.” Aku terkekeh. Ia terlihat geram. Jarang-jarang aku bercakap
dengannya, manis juga.
“Ya terserah, aku kan cuma kasih kamu jalan lurus
biar kamu gak kayak yang lain. Murahan.” Lirikku tajam. Ia mulai menggigit
setengah bibirnya. Tubuhnya berkata kaget. Anak ini panikan, pikirku. Ia
merogoh tasnya dan mengambil penyumbat telinga yang bisa mengeluarkan beberapa getaran
suara itu, entah apa namanya. Kemudian menyumbat telinganya dan menyibukkan
diri. Lucu sekali. Seperti kacang rebus hangus saja aku dibuatnya, bicara pada
wajan dan kompor-kompor penghasil api. Kesal. Sangat kesal. Kutarik penyumbat
telinga itu hingga terlepas dan jatuh disebelah kaki mungilnya yang mengenakan
sepatu kets hitam dengan les biru. Ia mendelik. Diam.
“Ini hati, bukan halte, kalau kamu belum tau.
Halte itu disinggahi terus, lalu pergi begitu saja saat bertemu bus pengantar
ke halte lainnya. Andai kamu tau kalau sel darah merah dirombak dihati, ingat,
perombakan menemukan yang baru dan lalu menyelamatkan seluruh tubuhmu, mengalir
kesegala arah. Bukan tempat singgah layaknya trotoar pinggiran jalan. Hina
sekali, kan?” Kubalas tatapannya, matanya merasuk lagi. Astaghfirullah, lekas kulepas tatapan itu. Aku mulai salah tingkah.
Ia tersenyum. Jahit saja mulutku kalau berani mengatakan itu buruk.
“Kamu hanya dengar kabar begitu tentangku, kan?
Apa masih ada?” tanyanya lembut.
“Entah, cari tahu sendiri saja. Aku mencoba tak
mengenalmu sekarang.”
“Dan sayangnya cuma kata “hanya”, kan? Aku ini,
wanita yang ragu pada Tuhannya. Pun cinta aku tak tahu. Aku mencari yang
sejalan. Bukan tak ada, hanya Tuhanku tak ajarkan cara yang pantas. Kalau cari
yang berbeda, takut diasingkan. Jatuh cinta padamu, misalnya. Aku takkan
melakukan itu. Bodoh. Hahahah.” Bola mataku berputar. Mencari kata yang pantas
untuk kukeluarkan. Tak mudah memang. Ingat terlintas sesuatu yang kubelikan
tadi pagi untuk emak. Kutelusuri isi ransel dengan tangan kananku. Dapat.
“Berbeda lagi ceritanya kalau sejalan, ya? Hahah,
ini untukmu. Jangan banyak tanya, pakai saja dan kau akan tahu. Lucu tidak
kalau aku berharap keajaiban datang hari ini?” Kusodorkan isi plastik itu. Ia
heran, wajahnya penuh tanya. Aku takkan menjawab pertanyaan itu. Toh, ia juga
sudah mengerti maksudku, bukan?
“Wanita terlalu banyak kalau harus kau cintai.
Ssttt, jangan bilang-bilang pada yang
lain ya, aku punya rahasia besar tentang mereka.” Kataku berlagak detective dengan sikap yang pas di hati.
“Wanitamu?”
“Nah, ini masalahnya! Aku tak punya rahasia
tentangnya, belum kutemukan.”
“Pengagum rahasia?”
“Tepat!”
“Mau ceritakan aku sedikit tentang profesi itu?”
“Seperti mencuri-curi pandang darimu, Gisty” Tap!
Pipinya senyum memerah. Anak-anak lesung bermain disana. Sempurna, sangat
manis. Kurasa.
“Namaku?”
“Aku pengagum rahasiamu” jawabku sambil beranjak
pergi dari tempat itu. Malu.
“Kain milikmu, akan aku apakan? Apa harapan
terakhirmu?” Tanyanya sedikit teriak agar terdengar olehku yang sudah berjarak lima
belas meter dari halte itu.
“Semoga Tuhan kita sama, nantinya. Namanya hijab,
pakai saja kemanapun kamu pergi. Kalau jiwamu nyaman, islamlah. Kita akan
sejalan. Takkan ada lagi keraguan akan Tuhanmu dahulu.” Balasku yang juga
sedikit teriak. Ia tersenyum, melambaikan tangannya ke arahku.
Ini percakapan terpanjang yang pernah kurasakan
dengannya dalam catatan waktu sejarah.
Sudah berapa
lama aku berdiri disini?
Aku tertawa kecil. Mengingat lesung ciptaan Tuhan
dipipinya saat senyum memerah. Tak sadar kalau-kalau manusia memenuhi tempat
ini. Aku tak tahu bagaimana harus mendefenisikan tempat ramai ini. Layaknya Paradoks.
“Papa!” ia memeluk kaki kananku dengan tubuh
mungilnya. Lucu sekali. Sambil memamerkan gigi-gigi putih kecilnya yang
tersusun rapi disana.
“Ah, Selamat pagi, Gisty!” Kupeluk erat bocah
manja yang memelukku tadi sambil menggelitiki perutnya. Ia tertawa geli.
“Maaf, Gisty?” ada wanita dibelakangku.
“Ya, dia anakku. Manis, kan?” Aku menoleh heran.
Terbelalak. Matanya berkaca-kaca.
“Ini, kukembalikan, sampaikan salamku pada wanita
beruntung yang lebih dulu sejalan denganmu itu” ungkapnya sambil memberiku
sebuah kertas yang sempat diam-diam
kuselipkan dalam tasnya ketika wisuda empat tahun lalu. Aku masih
terbengong-bengong.
“Mas, sudah ketemu ya? Kenalin, ini temenku,
Gisty, masih lajang, nunggu penggemar rahasianya dulu, katanya,” istriku
tersenyum kecil. Ia tiba semenit lalu dari belakang selepas bertemu dengan
ibu-ibu tua dibelakang sana. Aku diam, tak berani berkutik. Gisty mengenalku.
Aku yakin.
“Hush..” Wanita itu mencubit lengan istriku. Dia, Gisty?
“Semoga Tuhan kita sama, nantinya. Namanya
hijab, pakai saja kemanapun kamu pergi. Kalau jiwamu nyaman, islamlah. Kita
akan sejalan. Takkan ada lagi keraguan akan Tuhanmu dahulu.” Balasku yang juga
sedikit teriak. Ia tersenyum, melambaikan tangannya ke arahku. Ini percakapan
terpanjang yang pernah kurasakan dengannya dalam catatan waktu sejarah.
6 komentar:
ngena banget, lanjutkan dear.. ;)
huaaaaaaaaaaaaa apa iniiiiii >.< tapi syakep mbak :)
okay, keep writing cantik ^^
Lo cewe tapi nulis jadi cowo, okay, whatever, i like it :)
what the... oh, <3
Eh, sumpah! nama gue Gisty!!!! aaaaa i love your story
Post a Comment
Silahkan :)