Raudhah =Taman.
Taman yang bagaimana? Bukan taman
kota atau taman siswa yang biasa kita lihat diluar sana. Atau taman
kanak-kanak? Taman bermain? Taman santai? Atau taman? Bukan. Bukan itu yang
kumau, bukan. Sama sekali bukan.
Aku hanya ingin menjadi sosok,
sosok yang sedang terbaring diranjang sebelah.
Menawan nan anggun. Ehem,
maksudku bukan karena aku menyukai wanita -_-. Lupakan hal ini.
Sosok ini terlalu banyak mengubah
hidupku, dalam segi agama misalnya. Entah apa yang ia selalu bawa. Aku hanya
ingin seperti dia, sayangnya ini hanya ungkapan hasnya. Lucu ya.
Namanya Raudhah. Ia seorang
wanita taat. Mungkin islam merupakan separuh jiwanya. Matanya yang seperti biji
leci itu akan berkca-kaca saat mendengar nama Tuhannya. Allah SWT. Begitulah
sekiranya. Bukan hanya kiasan seorang Raudhah, anak ini benar-benar taman yang
nyaman. Kau bisa bercerita, meminta cerita, bermain, tertawa, meluahkan hati,
bersandar, atau apapun yang kau hendaki.
Ia salah satu teman baikku
setelah Adel. Aku memang tak pernah bisa menganggap seseorang menjadi sahabat
atau apa. Aku hanya menganggapnya teman baik. Singkatnya aku tak punya sahabat
kecuali keladi-keladi hijau yang kutanam didepan asrama kami. Tak banyak yang
melihatnya, bahkan mungkin hanya aku yang tahu kalau keladi bersemayam disana.
Aku tau bahasa tulisan seperti ini terlihat mengerikan. Tapi aku suka, jangan
berkomentar ya.
Baik, lupakan keladi aneh itu.
Raudhah. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan “Hajjah”. Kenapa? Semua tahu
bahwa ia satu-satunya manusia di sekolahku yang pernah haji (setelah Bunda
Yana) ke dunia dimana Rasul kami tinggal dulu. Ya, Arab Saudi.
Baik akan kuceritakan sedikit
tentang masa lalu wanita ini. Oh, mungkin aku tak akan menceritakannya. Ia
seseorang yang sama seperti kami tentunya, merajut masa-masa sekolah menengah
pertama dengan kebiasaan yang sama seperti remaja lainnya. Ketika masuk Sekolah
Menengah selanjutnya, ia berbeda. Aku mengenalnya karena ia menempati kelas
yang sama denganku. Terlihat, normal. Ia tetap biasa seperti yang anak yang
lainnya. Tiga puluh hari kemudian, Allah mengirimnya untuk menyelesaikan rukun
islam yang terakhir itu, haji. Itu pengalaman luar biasa bagi setiap muslim
tentunya. Belum masalah biaya yang sangat melangit dan di negaraku ini,
Indonesia, ketika kita telah melunasi biaya haji maka harus menunggu selama 12
tahun lagi untuk menunaikan haji.
Sepulang haji, Raudhah
memustuskan tinggal di asrama dan sekamar denganku saat itu, tapi tidak untuk
sekarang karena kami harus berpisah kamar dan berbaur dengan anak lainnya
dikamar yang lain pula. Aku tahu, haji merubah pribadinya menjadi salah satu
wanita luar biasa disekolah kami, untukku. Kurasa ia taubat dan itu menarik
perhatianku. Rasa cintanya terhadap Islam semakin pesat dan berkembang sukses
begitu saja. Ia mulai menghujani tubuhnya dengan buku-buku yang berbau islami,
berbeda denganku yang menghujani tubuhku dengan buku-buku fiksi, biografi,
indonesia dsb. Bukan karena aku tak punya buku-buku sepertinya, kuakui
buku-buku agam seperti itu mungkin ada ratusan dilemari-lemari ruangan rumahku
yang seperti perpustakaan, Ibuku yang membuatnya seperti itu. Bukan karena aku
tak suka, aku suka, hanya saja terlihat jarang membacanya lebih lanjut. Aku
akan membaca buku-buku berbau khas islam disaat aku benar-benar ingin
membacanya, tidak sepertinya yang fanatik sekali dengan hal itu. Menurutku itu
hebat. Kenapa? Karena memang selama ini aku terlalu percaya diri dalam
menghadapi hal apapun, termasuk bisa atau tidak bisa dalam mata pelajaran. Kau tahu?
Bahkan aku sangat benci dengan jurusan yang kutekuni selama SMA ini. Tapi, yang
aku tahu, karena sikap terlalu percaya diri tadi, begini, terserah deh, urusan
bisa atau tidak bisa ya belakangan, asalkan coba saja. Karena kalau sudah coba
yang terpaksa mesti bisa, kalaupun tidak bisa akhirnya minimal bisa sedikit,
kalau tetap konsisten tidak bisa, maka bersiap-siaplah menahan malu dengan
rekan-rekanmu yang lain. Selama ini aku hanya melihat sekilas tayangan televisi
tentang wanita sepertinya, sekarang aku melihat sendiri. Anak ini rajinnya
jangan ditanya, ia akan berusaha bangun malam jika besok kami harus ujian
sekolah. Satu hal yang aku belum berhasil lakukan ialah solat malam dan ia
berhasil melakukan itu rutin, kupikir. Kuarasa ini akibat terlalu banyak
setan-setan yang gemar berteman denganku karena aku tak setaat dirinnya. Aku
tahu, islam itu simple jika kamu memudahkannya. Tapi akan benar-benar terkesan
menyulitkan jika kamu tak benar-benar memahaminya. Aku tahu, tapi kurang
sempurna menerapkan pengetahuanku. Nah, inilah yang dinamakan Knowledge yang Invalidation. Jangan contoh hal burukku -_- Namun, Perempuan yang satu ini berbeda, ia
bisa saja menerapkan pengetahuan akan islamnya dalam sehari-hari.
Aku ingin sepertinya. Ingin bisa
menerima semua yang orang lain lakukan tanpa emosi. Ingin bisa menjadi pribadi yang mempunyai emotion remote control. Pribadi yang selalu dapat mendengar keluh
kesah orang lain tanpa bosan. Pribadi yang selalu dapat sabar sesabar-sabarnya.
Bisa berdzikir dimana saja, menjaga
pandangan, selalu duduk saat sedang memakan sesuatu ataupun saat minum, menjaga
aurat yang belu sempurna kujaga, menjaga solatku dan sunah-sunah Rasul, giat,
merendahkan diri, merendahkan nada bicara, selalu jujur, apapun mencakup
sikap-sikap bidadari indah itu. Raudhah. Ia benar-benar berhasil membuatku iri
dalam segala hal, entahlah, kurasa itu lucu.
Sekilas, Raudhah itu wanita
berjilbab yang selalu konsisten menjaga auratnya. Ibunya wanita yang hebat,
sama seperti ibuku yang mengurusi adik-adik super dupel bandel tanpa ayah
disekitar kami. Bukan karena ayah telah tiada, ayahku hanya bekerja diluar
provinsi sana. Aku sempat berpikir andai ayah tak sesibuk itu. Ia hanya pulang kerumah kapan ia mau, tapi akan pergi
kemanapun temna-temannya pergi, andai ayah ingat rumah kami masih disini, hahah
lucu ya. Tapi, jangan salah, ayahku itu tettap ayah yang hebat, pemegang
keputusan yang kuat dalam rumah tangga kami, walaupun lewat telepon, ayah juga
akan mengirimiku uang saku ditambah SPP sekolah yang harus dibayar atau tidak
ikut ujian sama sekali. Sedangkan ayah Raudhah sudah dipanggil Tuhan, sejak ia
SD katanya. Aku tahu, saat kami semua masuk jam konseling, mengobrol tentang
keluarga, ia tak pernah menyinggung ayahnya. Kami berlomba-lomba menceritakan
jejak sang Ayah, ia hanya senyum mendengar, kurasa ia menutup rindu itu
dalam-dalam. Matanya menatap saksama berharap kalau saja itu ayahnya. Membunuh
rindu memang tak mudah, inilah saat dimana kamu harus menikam hatimu setiap
detik. Terimakasih, Raudhah. Terimakasih tentang banyak hal.
Andai aku sepertimu. Andai aku
adalah Raudhah, ya? Aku hanya ingin sepertinya, sayangnya hanya kata “hanya”.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan :)