Thursday, 16 January 2014

Andai Aku Adalah Raudhah



Raudhah =Taman.
Taman yang bagaimana? Bukan taman kota atau taman siswa yang biasa kita lihat diluar sana. Atau taman kanak-kanak? Taman bermain? Taman santai? Atau taman? Bukan. Bukan itu yang kumau, bukan. Sama sekali bukan.
Aku hanya ingin menjadi sosok, sosok yang sedang terbaring diranjang sebelah.
Menawan nan anggun. Ehem, maksudku bukan karena aku menyukai wanita -_-. Lupakan hal ini.
Sosok ini terlalu banyak mengubah hidupku, dalam segi agama misalnya. Entah apa yang ia selalu bawa. Aku hanya ingin seperti dia, sayangnya ini hanya ungkapan hasnya. Lucu ya.
Namanya Raudhah. Ia seorang wanita taat. Mungkin islam merupakan separuh jiwanya. Matanya yang seperti biji leci itu akan berkca-kaca saat mendengar nama Tuhannya. Allah SWT. Begitulah sekiranya. Bukan hanya kiasan seorang Raudhah, anak ini benar-benar taman yang nyaman. Kau bisa bercerita, meminta cerita, bermain, tertawa, meluahkan hati, bersandar, atau apapun yang kau hendaki.
Ia salah satu teman baikku setelah Adel. Aku memang tak pernah bisa menganggap seseorang menjadi sahabat atau apa. Aku hanya menganggapnya teman baik. Singkatnya aku tak punya sahabat kecuali keladi-keladi hijau yang kutanam didepan asrama kami. Tak banyak yang melihatnya, bahkan mungkin hanya aku yang tahu kalau keladi bersemayam disana. Aku tau bahasa tulisan seperti ini terlihat mengerikan. Tapi aku suka, jangan berkomentar ya.
Baik, lupakan keladi aneh itu. Raudhah. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan “Hajjah”. Kenapa? Semua tahu bahwa ia satu-satunya manusia di sekolahku yang pernah haji (setelah Bunda Yana) ke dunia dimana Rasul kami tinggal dulu. Ya, Arab Saudi.
Baik akan kuceritakan sedikit tentang masa lalu wanita ini. Oh, mungkin aku tak akan menceritakannya. Ia seseorang yang sama seperti kami tentunya, merajut masa-masa sekolah menengah pertama dengan kebiasaan yang sama seperti remaja lainnya. Ketika masuk Sekolah Menengah selanjutnya, ia berbeda. Aku mengenalnya karena ia menempati kelas yang sama denganku. Terlihat, normal. Ia tetap biasa seperti yang anak yang lainnya. Tiga puluh hari kemudian, Allah mengirimnya untuk menyelesaikan rukun islam yang terakhir itu, haji. Itu pengalaman luar biasa bagi setiap muslim tentunya. Belum masalah biaya yang sangat melangit dan di negaraku ini, Indonesia, ketika kita telah melunasi biaya haji maka harus menunggu selama 12 tahun lagi untuk menunaikan haji.
Sepulang haji, Raudhah memustuskan tinggal di asrama dan sekamar denganku saat itu, tapi tidak untuk sekarang karena kami harus berpisah kamar dan berbaur dengan anak lainnya dikamar yang lain pula. Aku tahu, haji merubah pribadinya menjadi salah satu wanita luar biasa disekolah kami, untukku. Kurasa ia taubat dan itu menarik perhatianku. Rasa cintanya terhadap Islam semakin pesat dan berkembang sukses begitu saja. Ia mulai menghujani tubuhnya dengan buku-buku yang berbau islami, berbeda denganku yang menghujani tubuhku dengan buku-buku fiksi, biografi, indonesia dsb. Bukan karena aku tak punya buku-buku sepertinya, kuakui buku-buku agam seperti itu mungkin ada ratusan dilemari-lemari ruangan rumahku yang seperti perpustakaan, Ibuku yang membuatnya seperti itu. Bukan karena aku tak suka, aku suka, hanya saja terlihat jarang membacanya lebih lanjut. Aku akan membaca buku-buku berbau khas islam disaat aku benar-benar ingin membacanya, tidak sepertinya yang fanatik sekali dengan hal itu. Menurutku itu hebat. Kenapa? Karena memang selama ini aku terlalu percaya diri dalam menghadapi hal apapun, termasuk bisa atau tidak bisa dalam mata pelajaran. Kau tahu? Bahkan aku sangat benci dengan jurusan yang kutekuni selama SMA ini. Tapi, yang aku tahu, karena sikap terlalu percaya diri tadi, begini, terserah deh, urusan bisa atau tidak bisa ya belakangan, asalkan coba saja. Karena kalau sudah coba yang terpaksa mesti bisa, kalaupun tidak bisa akhirnya minimal bisa sedikit, kalau tetap konsisten tidak bisa, maka bersiap-siaplah menahan malu dengan rekan-rekanmu yang lain. Selama ini aku hanya melihat sekilas tayangan televisi tentang wanita sepertinya, sekarang aku melihat sendiri. Anak ini rajinnya jangan ditanya, ia akan berusaha bangun malam jika besok kami harus ujian sekolah. Satu hal yang aku belum berhasil lakukan ialah solat malam dan ia berhasil melakukan itu rutin, kupikir. Kuarasa ini akibat terlalu banyak setan-setan yang gemar berteman denganku karena aku tak setaat dirinnya. Aku tahu, islam itu simple jika kamu memudahkannya. Tapi akan benar-benar terkesan menyulitkan jika kamu tak benar-benar memahaminya. Aku tahu, tapi kurang sempurna menerapkan pengetahuanku. Nah, inilah yang dinamakan Knowledge yang Invalidation. Jangan contoh hal burukku -_-  Namun, Perempuan yang satu ini berbeda, ia bisa saja menerapkan pengetahuan akan islamnya dalam sehari-hari.
Aku ingin sepertinya. Ingin bisa menerima semua yang orang lain lakukan tanpa emosi. Ingin bisa menjadi  pribadi yang mempunyai emotion remote control. Pribadi yang selalu dapat mendengar keluh kesah orang lain tanpa bosan. Pribadi yang selalu dapat sabar sesabar-sabarnya. Bisa berdzikir  dimana saja, menjaga pandangan, selalu duduk saat sedang memakan sesuatu ataupun saat minum, menjaga aurat yang belu sempurna kujaga, menjaga solatku dan sunah-sunah Rasul, giat, merendahkan diri, merendahkan nada bicara, selalu jujur, apapun mencakup sikap-sikap bidadari indah itu. Raudhah. Ia benar-benar berhasil membuatku iri dalam segala hal, entahlah, kurasa itu lucu.
Sekilas, Raudhah itu wanita berjilbab yang selalu konsisten menjaga auratnya. Ibunya wanita yang hebat, sama seperti ibuku yang mengurusi adik-adik super dupel bandel tanpa ayah disekitar kami. Bukan karena ayah telah tiada, ayahku hanya bekerja diluar provinsi sana. Aku sempat berpikir andai ayah tak sesibuk itu. Ia hanya  pulang kerumah kapan ia mau, tapi akan pergi kemanapun temna-temannya pergi, andai ayah ingat rumah kami masih disini, hahah lucu ya. Tapi, jangan salah, ayahku itu tettap ayah yang hebat, pemegang keputusan yang kuat dalam rumah tangga kami, walaupun lewat telepon, ayah juga akan mengirimiku uang saku ditambah SPP sekolah yang harus dibayar atau tidak ikut ujian sama sekali. Sedangkan ayah Raudhah sudah dipanggil Tuhan, sejak ia SD katanya. Aku tahu, saat kami semua masuk jam konseling, mengobrol tentang keluarga, ia tak pernah menyinggung ayahnya. Kami berlomba-lomba menceritakan jejak sang Ayah, ia hanya senyum mendengar, kurasa ia menutup rindu itu dalam-dalam. Matanya menatap saksama berharap kalau saja itu ayahnya. Membunuh rindu memang tak mudah, inilah saat dimana kamu harus menikam hatimu setiap detik. Terimakasih, Raudhah. Terimakasih tentang banyak hal.
Andai aku sepertimu. Andai aku adalah Raudhah, ya? Aku hanya ingin sepertinya, sayangnya hanya kata “hanya”.

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan :)