Oleh: Raihan Uliya
“Seperti rumah, menjadi semakin rumah ketika ditinggalkan. Begitulah cinta,
menjadi semakin cinta sesudah hilang” ----Putu Wijaya.
“Siapa sih,
cewek paling cantik di pertanian?”
“Bukan elo,
bukan Frisca, bukan gue”
“Tapi mungkin
gue masih lebih cantik dari elo berdua,” sambung Frisca seraya merebut teh
botol didepan wanita berambut agak pirang dan dikucir kuda dengan pita rambut
model Pinky Fresh, katanya, Angi.
“Kenapa sih?”
“There’s a man who got a crush on her, medical
department”
“Feeling jealous then?”
“I’m not, surely”
“Yeah, you are”
Cemburu? List cowok ganteng difakultas sendiri
aja belum ada yang demen.
“Dih, mau
bantu aku nggak sih? Aku tuh mau bantuin Barry buat dapetin itu cewek”
“B-BA-R-RY?”
Mereka
mengeja kata itu bersamaan seperti grup paduan suara. Angi dan Frisca malah
beradu tatap dan tawa mereka meledak sebesar-besarnya. Tentu saja seluruh isi
kantin memenjarakan mata ke meja kami dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Mentraktir mereka di jam makan siang bisa saja jadi pilihan buruk yang pernah
kuambil. Tapi ini hal penting, karena cuma Angi maupun Frisca yang cukup
tahu-menahu segala issue seantero
jagat raya. Entah mereka punya indera ke-enam atau apapun itu, entahlah.
Jangankan issue, jumlah bulu yang
tumbuh didalam hidung dosen iktiologi prodi MSP pun, aku berani bertaruh mereka
tahu benar jumlahnya.
Fakultas
kedokteran ke pertanian itu bisa sampai dua kilometer, tapi Barry memang sempat
menarik perhatianku, heran. Ia selalu dipertanian saat jam kosong, duduk
dibangku dekat parkiran. Kadang kepalanya sibuk mencari-cari pintu utama
kampus, menunggu seseorang yang entah siapa lalu kembali ke fakultasnya tanpa
ditemani pula.
“Kalau
sering-sering kepertanian kapan belajarnya?”
“Hush, Barry
itu Asdos magister dokter bedah, udah pinter dari sononya kali” Hera pernah
mengatakan itu padaku.
Oh, Asisten
Dosen, toh. Pantes banyak yang kenal.
Aku berdiri
di depan pintu utama fakultas pertanian. Tatapan kami bertemu. Atau mungkin
saja tidak, karena ia memang selalu melempar tatapan dingin ke arah pintu
utama. Masih dengan seragam kampusnya. Putih. Ada bercak-bercak coklat disudut
celananya, mungkin karena percikan hujan yang mengguyur seluruh kampus sejak
empat jam lalu. Ia menggenggam payung biru tua yang besar bergagang hitam
ditengah parkiran.
“Aku punya
dua, satu untukmu,” Barry melempar sebuah payung hijau ke sebelah kakiku,
memecah lamunan yang sudah kurangkai entah kemana.
“Aku tak
memakai payung yang dilempar,” ketusku.
“Aku
terlambat. Seseorang telah lebih dulu memberikannya payung.” Barry berbalik
menuju mobilnya diparkiran. Tatapannya dingin. Senyumnya tipis sekali. Lelaki
jangkung berkacamata itu terlalu dingin untuk menjadi seorang pria. Sial, siapa
gadis itu?
“Audy! Aku
bawa payungmu..”
Ah, ya.
Fauzi. Ia selalu menegenakan kemejanya. Pura-pura tidak dengar, aku langsung
pulang. Banyak terkaan yang berseliweran dikepalaku. Siapa Barry? Siapa gadis
itu? Kenapa aku harus peduli? Kenapa payungnya harus warna hijau? Surely, it is not interest at all.
“Barry,” ia
menoleh. Lagi-lagi aku menemukannya di halte depan kampusku. “Punya waktu nanti
sore?” Ia tak acuh, malah berlagak tak ada orang yang mengajaknya bicara.
Merapikan jas putihnya, tak lupa kacamata bergagang hitam yang ia kenakan.
Perempuan mana yang berani mendekatinya
saat tahu ia menunggu gadis lain dipertanian? Tapi Barry memang tampan. Sisiran
rambutnya tak kalah rapi dengan jas putihnya. Kulitnya putih bersih. Sepatunya
hitam legam tak berdebu. Apa ia juga menyisir alisnya yang hitam? Aku tak tahu.
Tunggu, ada tahi lalat kecil disudut kanan bibirnya yang.... ah, sudahlah.
Tentu aku tidak tertarik jadi peneliti di LIPI setelah thesis.
“Aku punya
waktu sekarang.”
“Aku, bukan,
maksudku, mungkin kita bisa berbagi?”
“Bicara didalam
mobilku,” Aku mengambil langkah dibelakang Barry, menuju mobilnya. Sebentar.
Kenapa harus didalam mobil? Apa Barry salah satu penjahat sosial? Apa ada
penjahat sosial yang tampan? Kenapa tidak diperpustakaan atau kantin kampus?
Atau disini saja? Kenapa harus dimobil? Kenapa jalannya begitu terburu-buru?
Apa aku akan diculik? Apa asisten dosen suka menculik mahasiswi lain? Apa Barry
kleptomania? Ah bukan, maksudku, ia psikopat?
“Katamu mau
ngomong, jadi nggak sih?” Barry setengah meneriakiku dari dalam mobilnya. Aku
baru sadar kalau suaranya terlalu maskulin untuk seorang psikopat sekalipun.
Barry
melirikku dua kali. Bodoh. Aku masih sibuk berkutat dengan sabuk pengaman yang
sedari tadi tak bisa kupasang. Coba kuingat, ditelevisi cuma dengan satu tarikan
dan Bip! Sabuk pengaman terpasang. Tapi kenapa rasanya ini susah sekali? Tangan
kiriku harus dikemanakan? Kepalaku? Bip! Ah, itu Barry!
“Jangan
bilang kalau ini pengalaman pertamamu naik mobil pribadi,” Barry terkekeh
seraya mengemudikan mobilnya. “Kita akan mengitari kota, sambil berbagi. Itu
kan, maksudmu?” Aromanya masih terngiang dihidungku. Green aple?
“Aku lebih
suka angkot,” timpalku.
“Semua orang
kenal aku, tapi siapa namamu?”
“Audy,” huh,
angkuh sekali dia. “Jangan ge-er, aku cuma penasaran dengan gadis yang selalu
ditunggu oleh calon dokter angkuh sepertimu setiap hari. Menatap ke arah pintu
utama selama dua jam setelah makan siang lalu kembali dengan membawa senyum
aneh tanpa menemui gadis itu. Dua jam. Asisten dosen yang menghabiskan waktu istirahatnya
untuk seorang gadis yang tak pernah ia ajak bicara. Barry yang malang. Apa itu
yang membuatmu terlihat angkuh?”
“Mana aku
tahu kalau seorang Audy bisa seperhatian itu pada Barry yang malang. Aku nggak
suka gadis yang banyak bicara.” Barry membelokkan mobilnya kekiri. Formal
sekali, huh?
“Got problem with the girl who i am?”
“Not to sure but, yes.”
“Good.” Seluruh dunia harusnya tahu
kalau Barry itu laki-laki tampan yang menyebalkan.
“Gadis itu hanya
seorang teman dimasa lalu.” Semua
kendaraan berhenti. Ah, yang benar saja, lampu merah. “Teman kecil.” Teman
kecil? Apa itu? Mungkin dia gadis mungil yang cantik atau aku harus menerima
tawaran nonton bioskop bersama Hera minggu depan. Kosakataku tidak banyak,
sedikit anggukan kepala mungkin bisa jadi respon yang tepat saat ini.
“Apa seorang Audy ini cemburu?” Dasar, Barry.
Ia melajukan mobilnya terlalu kencang.
“Aku suka
Fauzi.” Senyumku mengembang.
“Fauzi
menyukaimu?”
“Aku yang
menyukai Fauzi”
“Ah, cinta
bertepuk sebelah tangan, ya?”
“Ia janji
akan menikahiku selesai wisuda”
“Kenapa
begitu yakin?”
“Kenapa
enggak?”
“Katakan
padanya,” Ia mendadak menghentikan
mobilnya di pinggiran tol. Wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Aku bisa
merasakan bau peppermint dari
nafasnya. Matanya merasuki mataku yang gugup bukan main.
“Siapa?”
“Gadis itu,”
aliran darahku semakin cepat, Barry masih dengan posisi yang benar-benar
membuatku risih. “Katakan padanya, tahun baru lima tahun lalu. Aku ayah anak
itu.”
Barry sudah
gila.
Ia mengeja
kalimat terakhir lamat-lamat. Tatapannya dingin saat menatapku. Suaranya tak
bernada. Ia membanting tubuhnya dibangku yang ia duduki. Sedikit menjambak
rambutnya sendiri lalu menumbuk stir mobil beberapa kali.
“Aku, turun
disini,” suaraku melemah. Kakiku kaku. Tidak ada gunanya membeku disini dalam
waktu yang lama. Aku melepaskan sabuk pengaman dengan buru-buru, membuka pintu
secara sigap lalu menutupnya setengah berlari ke arah yang berlawanan.
Pikiranku berkecamuk, bercampur-aduk.
Barry, ia
menyeramkan. Aku harus menemukan taxi disekitar sini sebelum Barry membuatku
masuk kedalam mobil itu lagi. Apa dia gila? Kenapa ia berbicara terlalu dekat?
Tahun baru katanya? Ayah? Barry seorang ayah? Ya Tuhan, yang benar saja.
Kupikir ini
memuakkan. Ia tak memberitahuku siapa gadis itu tapi aku harus menyampaikan
sesuatu? Ada yang lebih menyebalkan dari ini? Ah, ya.
“Harusnya
kalian sadar kalau semua orang pada ngeliatin kita,” kuinjak kaki Angi dan
Frisca bersamaan. Mereka tertawa terlalu besar, terlalu keras, terlalu
menjengkelkan. Apa yang lucu?
“Gue nggak
ngerti deh, emang elo yang nggak apdet atau begimana?” Celoteh Frisca yang
sibuk menepuk pundak Angi yang masih cengengesan sambil mengelus perutnya.
“Semua orang
juga tau kalau..” Handphone-ku berdering.
Angi tak melanjutkan kata-katanya, memberikanku waktu untuk sejenak mengangkat
telpon.
“Ma, kapan
pulang?”
Aku menatap
Angi sekali lagi.
“..Kalau
Barry cuma nungguin Audy Clarissa di pertanian.”
Sial!
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan :)