Tuesday, 25 August 2015

BARRY - Cerpen



Oleh: Raihan Uliya

Seperti rumah, menjadi semakin rumah ketika ditinggalkan. Begitulah cinta, menjadi semakin cinta sesudah hilang” ----Putu Wijaya.

“Siapa sih, cewek paling cantik di pertanian?”
“Bukan elo, bukan Frisca, bukan gue”
“Tapi mungkin gue masih lebih cantik dari elo berdua,” sambung Frisca seraya merebut teh botol didepan wanita berambut agak pirang dan dikucir kuda dengan pita rambut model Pinky Fresh, katanya, Angi. “Kenapa sih?”
There’s a man who got a crush on her, medical department”
Feeling jealous then?
I’m not, surely
Yeah, you are”
Cemburu? List cowok ganteng difakultas sendiri aja belum ada yang demen.
“Dih, mau bantu aku nggak sih? Aku tuh mau bantuin Barry buat dapetin itu cewek”
“B-BA-R-RY?”
Mereka mengeja kata itu bersamaan seperti grup paduan suara. Angi dan Frisca malah beradu tatap dan tawa mereka meledak sebesar-besarnya. Tentu saja seluruh isi kantin memenjarakan mata ke meja kami dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Mentraktir mereka di jam makan siang bisa saja jadi pilihan buruk yang pernah kuambil. Tapi ini hal penting, karena cuma Angi maupun Frisca yang cukup tahu-menahu segala issue seantero jagat raya. Entah mereka punya indera ke-enam atau apapun itu, entahlah. Jangankan issue, jumlah bulu yang tumbuh didalam hidung dosen iktiologi prodi MSP pun, aku berani bertaruh mereka tahu benar jumlahnya.
Fakultas kedokteran ke pertanian itu bisa sampai dua kilometer, tapi Barry memang sempat menarik perhatianku, heran. Ia selalu dipertanian saat jam kosong, duduk dibangku dekat parkiran. Kadang kepalanya sibuk mencari-cari pintu utama kampus, menunggu seseorang yang entah siapa lalu kembali ke fakultasnya tanpa ditemani pula.
“Kalau sering-sering kepertanian kapan belajarnya?”
“Hush, Barry itu Asdos magister dokter bedah, udah pinter dari sononya kali” Hera pernah mengatakan itu padaku.
Oh, Asisten Dosen, toh. Pantes banyak yang kenal.
Aku berdiri di depan pintu utama fakultas pertanian. Tatapan kami bertemu. Atau mungkin saja tidak, karena ia memang selalu melempar tatapan dingin ke arah pintu utama. Masih dengan seragam kampusnya. Putih. Ada bercak-bercak coklat disudut celananya, mungkin karena percikan hujan yang mengguyur seluruh kampus sejak empat jam lalu. Ia menggenggam payung biru tua yang besar bergagang hitam ditengah parkiran.
“Aku punya dua, satu untukmu,” Barry melempar sebuah payung hijau ke sebelah kakiku, memecah lamunan yang sudah kurangkai entah kemana.
“Aku tak memakai payung yang dilempar,” ketusku.
“Aku terlambat. Seseorang telah lebih dulu memberikannya payung.” Barry berbalik menuju mobilnya diparkiran. Tatapannya dingin. Senyumnya tipis sekali. Lelaki jangkung berkacamata itu terlalu dingin untuk menjadi seorang pria. Sial, siapa gadis itu?
“Audy! Aku bawa payungmu..”
Ah, ya. Fauzi. Ia selalu menegenakan kemejanya. Pura-pura tidak dengar, aku langsung pulang. Banyak terkaan yang berseliweran dikepalaku. Siapa Barry? Siapa gadis itu? Kenapa aku harus peduli? Kenapa payungnya harus warna hijau? Surely, it is not interest at all.
“Barry,” ia menoleh. Lagi-lagi aku menemukannya di halte depan kampusku. “Punya waktu nanti sore?” Ia tak acuh, malah berlagak tak ada orang yang mengajaknya bicara. Merapikan jas putihnya, tak lupa kacamata bergagang hitam yang ia kenakan. Perempuan mana yang  berani mendekatinya saat tahu ia menunggu gadis lain dipertanian? Tapi Barry memang tampan. Sisiran rambutnya tak kalah rapi dengan jas putihnya. Kulitnya putih bersih. Sepatunya hitam legam tak berdebu. Apa ia juga menyisir alisnya yang hitam? Aku tak tahu. Tunggu, ada tahi lalat kecil disudut kanan bibirnya yang.... ah, sudahlah. Tentu aku tidak tertarik jadi peneliti di LIPI setelah thesis.
“Aku punya waktu sekarang.”
“Aku, bukan, maksudku, mungkin kita bisa berbagi?”
“Bicara didalam mobilku,” Aku mengambil langkah dibelakang Barry, menuju mobilnya. Sebentar. Kenapa harus didalam mobil? Apa Barry salah satu penjahat sosial? Apa ada penjahat sosial yang tampan? Kenapa tidak diperpustakaan atau kantin kampus? Atau disini saja? Kenapa harus dimobil? Kenapa jalannya begitu terburu-buru? Apa aku akan diculik? Apa asisten dosen suka  menculik mahasiswi lain? Apa Barry kleptomania? Ah bukan, maksudku, ia psikopat?
“Katamu mau ngomong, jadi nggak sih?” Barry setengah meneriakiku dari dalam mobilnya. Aku baru sadar kalau suaranya terlalu maskulin untuk seorang psikopat sekalipun.
Barry melirikku dua kali. Bodoh. Aku masih sibuk berkutat dengan sabuk pengaman yang sedari tadi tak bisa kupasang. Coba kuingat, ditelevisi cuma dengan satu tarikan dan Bip! Sabuk pengaman terpasang. Tapi kenapa rasanya ini susah sekali? Tangan kiriku harus dikemanakan? Kepalaku? Bip! Ah, itu Barry!
“Jangan bilang kalau ini pengalaman pertamamu naik mobil pribadi,” Barry terkekeh seraya mengemudikan mobilnya. “Kita akan mengitari kota, sambil berbagi. Itu kan, maksudmu?” Aromanya masih terngiang dihidungku. Green aple?
“Aku lebih suka angkot,” timpalku.
“Semua orang kenal aku, tapi siapa namamu?”
“Audy,” huh, angkuh sekali dia. “Jangan ge-er, aku cuma penasaran dengan gadis yang selalu ditunggu oleh calon dokter angkuh sepertimu setiap hari. Menatap ke arah pintu utama selama dua jam setelah makan siang lalu kembali dengan membawa senyum aneh tanpa menemui gadis itu. Dua jam. Asisten dosen yang menghabiskan waktu istirahatnya untuk seorang gadis yang tak pernah ia ajak bicara. Barry yang malang. Apa itu yang membuatmu terlihat angkuh?”
“Mana aku tahu kalau seorang Audy bisa seperhatian itu pada Barry yang malang. Aku nggak suka gadis yang banyak bicara.” Barry membelokkan mobilnya kekiri. Formal sekali, huh?
Got problem with the girl who i am?
Not to sure but, yes.”
“Good.” Seluruh dunia harusnya tahu kalau Barry itu laki-laki tampan yang menyebalkan.
“Gadis itu hanya seorang teman  dimasa lalu.” Semua kendaraan berhenti. Ah, yang benar saja, lampu merah. “Teman kecil.” Teman kecil? Apa itu? Mungkin dia gadis mungil yang cantik atau aku harus menerima tawaran nonton bioskop bersama Hera minggu depan. Kosakataku tidak banyak, sedikit anggukan kepala mungkin bisa jadi respon yang tepat saat ini.
 “Apa seorang Audy ini cemburu?” Dasar, Barry. Ia melajukan mobilnya terlalu kencang.
“Aku suka Fauzi.” Senyumku mengembang.
“Fauzi menyukaimu?”
“Aku yang menyukai Fauzi”
“Ah, cinta bertepuk sebelah tangan, ya?”
“Ia janji akan menikahiku selesai wisuda”
“Kenapa begitu yakin?”
“Kenapa enggak?”
“Katakan padanya,” Ia mendadak  menghentikan mobilnya di pinggiran tol. Wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Aku bisa merasakan bau peppermint dari nafasnya. Matanya merasuki mataku yang gugup bukan main.
“Siapa?”
“Gadis itu,” aliran darahku semakin cepat, Barry masih dengan posisi yang benar-benar membuatku risih. “Katakan padanya, tahun baru lima tahun lalu. Aku ayah anak itu.”
Barry sudah gila.
Ia mengeja kalimat terakhir lamat-lamat. Tatapannya dingin saat menatapku. Suaranya tak bernada. Ia membanting tubuhnya dibangku yang ia duduki. Sedikit menjambak rambutnya sendiri lalu menumbuk stir mobil beberapa kali.
“Aku, turun disini,” suaraku melemah. Kakiku kaku. Tidak ada gunanya membeku disini dalam waktu yang lama. Aku melepaskan sabuk pengaman dengan buru-buru, membuka pintu secara sigap lalu menutupnya setengah berlari ke arah yang berlawanan. Pikiranku berkecamuk, bercampur-aduk.
Barry, ia menyeramkan. Aku harus menemukan taxi disekitar sini sebelum Barry membuatku masuk kedalam mobil itu lagi. Apa dia gila? Kenapa ia berbicara terlalu dekat? Tahun baru katanya? Ayah? Barry seorang ayah? Ya Tuhan, yang benar saja.
Kupikir ini memuakkan. Ia tak memberitahuku siapa gadis itu tapi aku harus menyampaikan sesuatu? Ada yang lebih menyebalkan dari ini? Ah, ya.
“Harusnya kalian sadar kalau semua orang pada ngeliatin kita,” kuinjak kaki Angi dan Frisca bersamaan. Mereka tertawa terlalu besar, terlalu keras, terlalu menjengkelkan. Apa yang lucu?
“Gue nggak ngerti deh, emang elo yang nggak apdet atau begimana?” Celoteh Frisca yang sibuk menepuk pundak Angi yang masih cengengesan sambil mengelus perutnya.
“Semua orang juga tau kalau..” Handphone-ku berdering. Angi tak melanjutkan kata-katanya, memberikanku waktu untuk sejenak mengangkat telpon.
“Ma, kapan pulang?”
Aku menatap Angi sekali lagi.
“..Kalau Barry cuma nungguin Audy Clarissa di pertanian.”

Sial!

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan :)