Wednesday, 3 August 2016

Cerpen: LADANG

Foto oleh: hiddenmemory.blogspot.com
Oleh: Raihan Uliya

Wanita itu terlalu pendek. Bahkan aku tak tahu bagaimana ia bisa kupersilakan menduduki salah satu teratak di sebelah pohon sirsak kami –aku dan kau tahu siapa. Salahkan matahari. Kalau kutahan dua jam saja, aku bukan manusia lagi. Teriknya tak mengapa. Namun, ia malah suka mendidihi lalu-lalang udara yang tak sesejuk pagi tadi. Kutinggalkan wanita itu dan buru-buru memayungi kepalaku.
Tapi herannya aku saat wanita itu juga ikut mengisi sempitnya teratak yang hampir roboh. Mungkin besok atau dua hari lagi. Sungguh, tak pernah kuminta ia menyinggahi teratak bersamaku.
Bulan depan, padi-padiku menguning. Ya, kalau bulan ini tak banjir. Angin-angin panas berembus, membakar kulit terluar kalau menyapanya terlalu dalam. Aku tak suka memulai percakapan. Mataku semakin jauh, menghitung bukit-bukit dan menerka jumlah pohon pada setiap bukit, jauh di seberang sana, setelah persawahan yang entah keberapa.
“Tadinya kupikir kau sudah jadi juragan.”
Jadi juragan itu harus berbakat. Tambah kuat kalau punya penyokong yang bisa diajak kompromi mengatur jadwal makan, jadwal tidur, dan jadwal berladang. Rasanya sangat tidak etis kalau ia tak kuacuhkan. Aku bahkan belum mengajaknya berkenalan. Ia menemuiku saat matahari hampir di atas kepala. Burung-burung masih ramai mencuri padi. Tapi ia tak memperkenalkan dirinya padaku. Benar, aku tak minta. Tapi aku juga tak minta ia menduduki teratak. Apalagi berpikir kalau aku sudah jadi juragan.
Wanita itu menelanjangi mataku. Mencari tahu kabar si gadis ayu. Keningnya bergaris-garis tercampur bedak. Entah berapa kali ia tertawa sejak terakhir aku melihatnya. Tak perlu adegan kenalan pada pandangan pertama karena aku tak ingat pandangan keberapa saat aku melihatnya lagi, hari ini. Benarlah kata orang, Sri semakin tua semakin cantik pula. Ya, standar cantik polosnya orang-orang desa. Kalau dibandingkan dengan si gadis ayu, tak perlulah. Malu. Enggan betul memilih jawaban yang harus kujawab tentang pertanyaannya. Aku memang bukan petani pintar.
Awan-awan begitu baik. Angin mulai berembus geli sampai ke leher. Atap teratak bergoyang-goyang digoda angin. Aku mengayunkan kaki. Wanita itu, Sri, juga mengayunkan kakinya. Pipinya terlihat lebih kendur. Kadang-kadang sempat pula ia menyibak rambut sebahu, ikal-ikal bergelombang. Aku menelan ludah. Ingin sekali mengatakan sesuatu pada Sri, tapi malu saat teringat kata ‘sundal’ yang sempat menampar kepalaku 7 tahun lalu.
Sudah kuduga, Sri pasti marah betul. Aku ini kan suka berkelana, namanya juga petani. Tapi kata Sri, aku bukan bangsawan, jadi tak perlu repot-repot berkelana. Petani harus punya ladang, kalau sudah ada, ya diurus baik-baik. Tak perlu repot-repot cari ladang baru. Toh, ladang lama saja, jangankan berbuah, tanahnya pun tak cukup unsur hara untuk menumbuhkan biji. Memangnya aku ini petani bodoh? Kalau ladang lama tak bisa diapa-apai ya harus cari ladang baru, kan? Dasar Sri, tahu apa dia tentang petani dan ladang hijau?
Hampir setahun ladangku tak pernah dipanen. Malas. Lagipula, sekarang aku punya yang lebih dari sekedar ladang. Sayang, tak bisa bikin makan enak, bisanya cuma menghibur kala fajar muncul malu-malu sampai fajar kedua esok hari. Ia benar-benar gadis penghibur, kubeli setahun lalu di kota. Katanya sih, janda. Tapi apa daya, aku tak hasilkan uang banyak, bisanya hanya beli satu janda yang kurasa masih gadis ayu.
Eloknya bukan main. Terpaksa truk pengangkut makanan ringan dari kota kutumpangi demi pulang ke kampung hari itu juga. Kata orang, di kota banyak yang bisa dicari; uang, trend, gadis, bahkan gadis-gadisan. Tahu-tahu esok paginya aku sudah sampai kota, modal numpang truk bayam-sawi milik Ah Kong, penghidup mimpiku ke kota. Bangun pagi-pagi sebelum matahari. Naik angkutan umum jelas mahal, si gadis ayu lagi mahal. Kupingku jadi lebar, curi-curi dengar recehnya obrolan tukang becak di perempatan jalan. Kalau tak mau yang baru, yang bekas lagi banyak, lagi murah, katanya. Siapa yang tak tergiur hatinya dapat tawaran bisa bayar murah? Tergiur pula aku, laki-laki kampung yang baru saja main ke kota tanpa sepengetahuan Sri. Kurasa Sri tak akan pergi kerja, ia pasti mondar-mandir di depan beranda. Bibirnya komat-kamit menyumpah serapah sejak pagi.
Benarlah kata tukang becak. Murah pun, tetap saja terasa masygul. Standar murah orang kota dan orang desa itu jelas beda. Beda jauh. Lima lembar uang ratusan ribu berhasil mempengaruhi sang penjual untuk menukarkan salah satu gadisnya padaku, tentu empat puluh lima ribu ongkos pulang ke kampung ikut jadi tumbal. Seperti ada kupu-kupu di dalam perutku, puas hati. Ini baru namanya mojang sungguhan! Kata mereka, jangan lupa disolek. Harus licin, harus dermawan. Biar selamanya tetap rasa mojang. Ah, pasti.
 Pengalaman empat jam di dalam truk makanan ringan bukan hal biasa. Bukan karena susahnya tak punya uang dan sakitnya punggungku terantuk besi di dinding truk sebab bebatuan, tapi memikirkan ide tentang kata yang harus kujelaskan di hadapan Sri saat sampai di rumah. Itu salahnya menyimpan uang di sela-sela lipatan baju. Satu hal lagi, apa ia akan suka gadisku?
Benar saja. Walaupun sial saat togel, tapi tebakanku memang tak meleset. Beranda rumah kami jadi mirip neraka yang sudah ditunggu malaikatnya. Seakan bersiap hendak membakarku hidup-hidup. Sri berkacak pinggang, menatapku layaknya ia melihat rendang masakan padang. Aku tahu. Aura kayu bakarnya sore ini bukan karena kemana aku pergi. Ia pasti sudah menghitung simpanannya.
Sri itu pemarah betul. Katanya sayang, eleh, sayang apanya? Ia pemaki hebat di kampung kami dan aku yang mukanya paling tebal. Untung saja gadis yang kuboyong, kepalanya tak berambut, jadi tak ada adegan jambakan di rumah. Hanya saja cerocosnya andil pula membentur kepalaku. Disuruhnya aku makan nasi pakai garam saja atau ditambah minyak kelapa. Syukur-syukur kalau nasi masih ada, dimakinya aku petani tak tahu diri. Semua ladang juga bakal hancur kalau diurusi petani macam aku, katanya. Sok jadi orang kota pula.
Sri itu pagi-pagi buta sudah hilang dari rumah. Bulan saja masih terang. Tapi kembali jam delapan malam, katanya buruh perusahaan petrokimia di desa sebelah. Kurasa gara-gara Sri ladangku tak pernah subur, jadi tercemar ampas kimia. Tinggallah kami—aku dan gadis itu—tanpa Sri. Sri tak ada lebih enak, kami punya dunia sendiri, sampai lupa pada tetangga yang minta beberapa lembar daun salam di pekarangan. Bawaan dari lahir, si gadis memang tak pernah bisa makan masakan rumah. Aku harus berjalan kaki satu kilo meter. Di sana ada kios kecil yang sedia apapun keperluan gadisku.
Sri itu cemburu betul. Hampir setahun pula ia minta pisah ranjang. Padahal hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, aku hanya minta untuk bawa gadis itu tidur seranjang. Apa yang harus dicemburui? Tiap malam ia seperti kerasukan setan saja, menuduhku tak lagi acuh. Tuturnya tak seperti wanita yang akan kunikahi empat tahun lalu. Gadisku kan enak, tak pula marah-marah basi, hanya diam-diam manis kuraba di hadapan Sri.
Sri itu menyebalkan betul. Sebentar-bentar minta dicerai, talak tiga pula. Alasannya bukan karena tak pernah kugagahi lagi, tapi katanya aku seperti bukan laki-laki. Petani gagal, sebutnya. Ia tak ingat rupaku lagi, katanya menghitam gara-gara aku punya ladang baru. Pun aku lebih sayang gadis kota itu. Ia merasa aku makan uangnya dan selalu bertanya aku ini petani yang suka pelihara ladang macam apa. Ah, sampai Sri berapi-api mengambil alih sang gadis yang berpose ramah di atas ranjang. Ia kerasukan setan laki-laki. Kasar. Mengusirku dari kamar dan mengunci dirinya bersama si gadis di dalam. Suara Sri yang paling keras. Aku dengar ada yang patah, ada yang terantuk, terlempar, dan makian Sri mengguncang rumah kecil kami.
“Lebih baik aku jadi perawan tua!”
Halah, Sri! Ubun-ubunku naik pitam. Ia tak menghargaiku lagi sebagai suami, sebagai laki-laki. Adrenalinku memuncak, engsel pintu jadi rusak baut-bautnya. Sri terbengong-bengong masa kuteriaki kupingnya, talak tiga! Yang benar saja, apa dia pikir mudah cari gadis ayu di perkampungan kumuh begini? Cerai, ya cerai! Mati pun, biarlah. Toh, aku juga tak punya gadis ayu lagi! Sri mendarahi mojangku!
Burung-burung pencuri padi semakin ramai. Mereka hapal betul gelagat orang sungguhan atau orang-orangan. Bertahun-tahun belajar membedakan berbagai macam orang di persawahan. Kaki kami masih berayun menggantung dari atas teratak. Senja masih lama. Raja siang hanya bergeser beberapa derajat dari sebelumnya. Terlanjur khawatir pada kekasihku, ladang padi, wanita itu kutinggal menakut-nakuti para burung.
“Kupikir kau akan paham, Mas.”
Burung-burung masih lalu-lalang bersama angin. Awan masih baik. Tapi aku seperti bukan manusia saat Sri mengatakan hal barusan. Mulutku mengatup rapat-rapat. Hancur betul pembuluh darahku. Sampai tak bisa bernapas dengan normal. Mengotori hal yang harusnya tak kotor. Aku tak berbalik pada Sri. Ia begitu lancang. Bisikannya terngiang-ngiang di kepalaku. Percakapan terakhir 7 tahun silam.

 “Benar ya, Mas. Kata orang-orang, perkara hape-mu: si gadis kota itu, lebih bahaya daripada perempuan sundal. Buktinya, cuma dua menit saja, aku tak lagi jadi istrimu.”

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan :)