Foto oleh: hiddenmemory.blogspot.com |
Oleh: Raihan Uliya
Wanita
itu terlalu pendek. Bahkan aku tak tahu bagaimana ia bisa kupersilakan
menduduki salah satu teratak di sebelah pohon sirsak kami –aku dan kau tahu
siapa. Salahkan matahari. Kalau kutahan dua jam saja, aku bukan manusia lagi.
Teriknya tak mengapa. Namun, ia malah suka mendidihi lalu-lalang udara yang tak
sesejuk pagi tadi. Kutinggalkan wanita itu dan buru-buru memayungi kepalaku.
Tapi herannya aku saat wanita itu juga ikut mengisi sempitnya teratak yang
hampir roboh. Mungkin besok atau dua hari lagi. Sungguh, tak pernah kuminta ia
menyinggahi teratak bersamaku.
Bulan
depan, padi-padiku menguning. Ya, kalau bulan ini tak banjir. Angin-angin panas
berembus, membakar kulit terluar kalau menyapanya terlalu dalam. Aku tak suka
memulai percakapan. Mataku semakin jauh, menghitung bukit-bukit dan menerka
jumlah pohon pada setiap bukit, jauh di seberang sana, setelah persawahan yang
entah keberapa.
“Tadinya
kupikir kau sudah jadi juragan.”
Jadi
juragan itu harus berbakat. Tambah kuat kalau punya penyokong yang bisa diajak
kompromi mengatur jadwal makan, jadwal tidur, dan jadwal berladang. Rasanya
sangat tidak etis kalau ia tak kuacuhkan. Aku bahkan belum mengajaknya berkenalan.
Ia menemuiku saat matahari hampir di atas kepala. Burung-burung masih ramai
mencuri padi. Tapi ia tak memperkenalkan dirinya padaku. Benar, aku tak minta.
Tapi aku juga tak minta ia menduduki teratak. Apalagi berpikir kalau aku sudah
jadi juragan.
Wanita
itu menelanjangi mataku. Mencari tahu kabar si gadis ayu. Keningnya bergaris-garis tercampur bedak. Entah berapa kali ia
tertawa sejak terakhir aku melihatnya. Tak perlu adegan kenalan pada pandangan
pertama karena aku tak ingat pandangan keberapa saat aku melihatnya lagi, hari
ini. Benarlah kata orang, Sri semakin tua semakin cantik pula. Ya, standar
cantik polosnya orang-orang desa. Kalau dibandingkan dengan si gadis ayu, tak
perlulah. Malu. Enggan betul memilih jawaban yang harus kujawab tentang
pertanyaannya. Aku memang bukan petani pintar.
Awan-awan
begitu baik. Angin mulai berembus geli sampai ke leher. Atap teratak
bergoyang-goyang digoda angin. Aku mengayunkan kaki. Wanita itu, Sri, juga
mengayunkan kakinya. Pipinya terlihat lebih kendur. Kadang-kadang sempat pula
ia menyibak rambut sebahu, ikal-ikal bergelombang. Aku menelan ludah. Ingin
sekali mengatakan sesuatu pada Sri, tapi malu saat teringat kata ‘sundal’ yang
sempat menampar kepalaku 7 tahun lalu.
Sudah
kuduga, Sri pasti marah betul. Aku ini kan suka berkelana, namanya juga petani.
Tapi kata Sri, aku bukan bangsawan, jadi tak perlu repot-repot berkelana.
Petani harus punya ladang, kalau sudah ada, ya diurus baik-baik. Tak perlu
repot-repot cari ladang baru. Toh, ladang lama saja, jangankan berbuah,
tanahnya pun tak cukup unsur hara untuk menumbuhkan biji. Memangnya aku ini
petani bodoh? Kalau ladang lama tak bisa diapa-apai ya harus cari ladang baru,
kan? Dasar Sri, tahu apa dia tentang petani dan ladang hijau?
Hampir
setahun ladangku tak pernah dipanen. Malas. Lagipula, sekarang aku punya yang
lebih dari sekedar ladang. Sayang, tak bisa bikin makan enak, bisanya cuma
menghibur kala fajar muncul malu-malu sampai fajar kedua esok hari. Ia
benar-benar gadis penghibur, kubeli setahun lalu di kota. Katanya sih, janda.
Tapi apa daya, aku tak hasilkan uang banyak, bisanya hanya beli satu janda yang
kurasa masih gadis ayu.
Eloknya
bukan main. Terpaksa truk pengangkut makanan ringan dari kota kutumpangi demi
pulang ke kampung hari itu juga. Kata orang, di kota banyak yang bisa dicari;
uang, trend, gadis, bahkan
gadis-gadisan. Tahu-tahu esok paginya aku sudah sampai kota, modal numpang truk
bayam-sawi milik Ah Kong, penghidup mimpiku ke kota. Bangun pagi-pagi sebelum
matahari. Naik angkutan umum jelas mahal, si gadis ayu lagi mahal. Kupingku jadi lebar, curi-curi dengar recehnya
obrolan tukang becak di perempatan jalan. Kalau tak mau yang baru, yang bekas
lagi banyak, lagi murah, katanya. Siapa yang tak tergiur hatinya dapat tawaran
bisa bayar murah? Tergiur pula aku, laki-laki kampung yang baru saja main ke
kota tanpa sepengetahuan Sri. Kurasa Sri tak akan pergi kerja, ia pasti
mondar-mandir di depan beranda. Bibirnya komat-kamit menyumpah serapah sejak
pagi.
Benarlah
kata tukang becak. Murah pun, tetap saja terasa masygul. Standar murah orang
kota dan orang desa itu jelas beda. Beda jauh. Lima lembar uang ratusan ribu
berhasil mempengaruhi sang penjual untuk menukarkan salah satu gadisnya padaku,
tentu empat puluh lima ribu ongkos pulang ke kampung ikut jadi tumbal. Seperti
ada kupu-kupu di dalam perutku, puas hati. Ini baru namanya mojang sungguhan!
Kata mereka, jangan lupa disolek. Harus licin, harus dermawan. Biar selamanya
tetap rasa mojang. Ah, pasti.
Pengalaman empat jam di dalam truk makanan
ringan bukan hal biasa. Bukan karena susahnya tak punya uang dan sakitnya
punggungku terantuk besi di dinding truk sebab bebatuan, tapi memikirkan ide
tentang kata yang harus kujelaskan di hadapan Sri saat sampai di rumah. Itu
salahnya menyimpan uang di sela-sela lipatan baju. Satu hal lagi, apa ia akan
suka gadisku?
Benar
saja. Walaupun sial saat togel, tapi tebakanku memang tak meleset. Beranda
rumah kami jadi mirip neraka yang sudah ditunggu malaikatnya. Seakan bersiap
hendak membakarku hidup-hidup. Sri berkacak pinggang, menatapku layaknya ia
melihat rendang masakan padang. Aku tahu. Aura kayu bakarnya sore ini bukan
karena kemana aku pergi. Ia pasti sudah menghitung simpanannya.
Sri
itu pemarah betul. Katanya sayang, eleh,
sayang apanya? Ia pemaki hebat di kampung kami dan aku yang mukanya paling
tebal. Untung saja gadis yang kuboyong, kepalanya tak berambut, jadi tak ada
adegan jambakan di rumah. Hanya saja cerocosnya andil pula membentur kepalaku.
Disuruhnya aku makan nasi pakai garam saja atau ditambah minyak kelapa.
Syukur-syukur kalau nasi masih ada, dimakinya aku petani tak tahu diri. Semua
ladang juga bakal hancur kalau diurusi petani macam aku, katanya. Sok jadi
orang kota pula.
Sri
itu pagi-pagi buta sudah hilang dari rumah. Bulan saja masih terang. Tapi kembali
jam delapan malam, katanya buruh perusahaan petrokimia di desa sebelah. Kurasa
gara-gara Sri ladangku tak pernah subur, jadi tercemar ampas kimia. Tinggallah
kami—aku dan gadis itu—tanpa Sri. Sri tak ada lebih enak, kami punya dunia
sendiri, sampai lupa pada tetangga yang minta beberapa lembar daun salam di
pekarangan. Bawaan dari lahir, si gadis memang tak pernah bisa makan masakan
rumah. Aku harus berjalan kaki satu kilo meter. Di sana ada kios kecil yang
sedia apapun keperluan gadisku.
Sri
itu cemburu betul. Hampir setahun pula ia minta pisah ranjang. Padahal
hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, aku hanya minta untuk bawa gadis itu
tidur seranjang. Apa yang harus dicemburui? Tiap malam ia seperti kerasukan
setan saja, menuduhku tak lagi acuh. Tuturnya tak seperti wanita yang akan
kunikahi empat tahun lalu. Gadisku kan enak, tak pula marah-marah basi, hanya
diam-diam manis kuraba di hadapan Sri.
Sri
itu menyebalkan betul. Sebentar-bentar minta dicerai, talak tiga pula.
Alasannya bukan karena tak pernah kugagahi lagi, tapi katanya aku seperti bukan
laki-laki. Petani gagal, sebutnya. Ia tak ingat rupaku lagi, katanya menghitam
gara-gara aku punya ladang baru. Pun aku lebih sayang gadis kota itu. Ia merasa
aku makan uangnya dan selalu bertanya aku ini petani yang suka pelihara ladang
macam apa. Ah, sampai Sri berapi-api mengambil alih sang gadis yang berpose
ramah di atas ranjang. Ia kerasukan setan laki-laki. Kasar. Mengusirku dari
kamar dan mengunci dirinya bersama si gadis di dalam. Suara Sri yang paling
keras. Aku dengar ada yang patah, ada yang terantuk, terlempar, dan makian Sri
mengguncang rumah kecil kami.
“Lebih
baik aku jadi perawan tua!”
Halah,
Sri! Ubun-ubunku naik pitam. Ia tak menghargaiku lagi sebagai suami, sebagai
laki-laki. Adrenalinku memuncak, engsel pintu jadi rusak baut-bautnya. Sri
terbengong-bengong masa kuteriaki kupingnya, talak tiga! Yang benar saja, apa
dia pikir mudah cari gadis ayu di
perkampungan kumuh begini? Cerai, ya cerai! Mati pun, biarlah. Toh, aku juga tak punya gadis ayu lagi! Sri mendarahi mojangku!
Burung-burung
pencuri padi semakin ramai. Mereka hapal betul gelagat orang sungguhan atau
orang-orangan. Bertahun-tahun belajar membedakan berbagai macam orang di
persawahan. Kaki kami masih berayun menggantung dari atas teratak. Senja masih
lama. Raja siang hanya bergeser beberapa derajat dari sebelumnya. Terlanjur
khawatir pada kekasihku, ladang padi, wanita itu kutinggal menakut-nakuti para
burung.
“Kupikir
kau akan paham, Mas.”
Burung-burung
masih lalu-lalang bersama angin. Awan masih baik. Tapi aku seperti bukan
manusia saat Sri mengatakan hal barusan. Mulutku mengatup rapat-rapat. Hancur
betul pembuluh darahku. Sampai tak bisa bernapas dengan normal. Mengotori hal
yang harusnya tak kotor. Aku tak berbalik pada Sri. Ia begitu lancang.
Bisikannya terngiang-ngiang di kepalaku. Percakapan terakhir 7 tahun silam.
“Benar ya, Mas. Kata orang-orang, perkara hape-mu: si gadis kota itu, lebih bahaya
daripada perempuan sundal. Buktinya, cuma dua menit saja, aku tak lagi jadi
istrimu.”
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan :)