Sebenernya ini itu cuma sekedar cerpen lumayan abal-abal buat latihan mingguan pas di grup Nauvabook. HAHA, kalo ganiat mending gausah baca deh wkwk
Angket
Oleh Raihan Uliya
Tak pelak
lagi, entah sudah berapa kali Mas Nakib mencuri-curi pandang. Kurasa ia terus
menebak apa yang kurasakan. Ia memilih diam, menyetir. Instrumen Morning Rain
oleh Jubing Kristianto berhasil menenggelamku di jok belakang. Rasanya
lambungku perih, mataku... Ah, Mas Nakib terus melajukan Jeep hitamnya.
“Sudah,
Elma....”
Kalau menekuni
jurusan Psikologi di salah satu univeritas negeri di Jakarta itu mudah, mungkin
aku sudah jadi sarjana setahun lalu. Tapi kali ini ceritanya berbeda,
lima
judul skripsiku ditolak saat sidang, bahkan salah satunya belum sempat
kuutarakan pada dosen penguji. Masih judul, ditolak. Tahu aku yang akan sidang,
mereka senyum-senyum geli. Kupikir wajahku terlalu familiar setahun belakangan.
Hiruk pikuk kota
Jakarta benar-benar memenatkan. Kuputuskan pulang ke Surabaya Senin besok.
Mungkin barang satu-dua bulan cukup untuk menemukan judul skripsi. Mungkin
menemani Ibu di rumah atau bercakap hangat dengan Bapak mampu mengusir
kesialanku selama di Jakarta. Ada yang menarik di Surabaya, kata Mas Nakib
suatu kali.
Mas Nakib yang
melamarku dua tahun lalu. Haru betul saat Bapak memeluknya erat di beranda.
Tiap malam seperti ada surga di rumah kami. Alangkah sumringahnya senyum Bapak,
merasa ketiban harta karun dari langit. Rasanya ia lebih cinta Mas Nakib
daripada aku.
“Masih jadi
badut, Pak?”
“Masih, ‘Nduk’.” Hobi, katanya. Artinya sudah
jalan sepuluh tahun Bapak jadi badut. Ia keluar kamar, gagah bersama setelan
warna-warni memintaku memasang wig merah di kepala yang hampir tak ada lagi
rambutnya. Juga Perut yang akan menggembul sesak oleh kapas-kapas bantal. Ia
berkacak pinggang di depan cermin, berputar memastikan tampilannya enak
dipandang mata. Malam ini Bapak harus menginap. Tebal pula riasannya sampai
satu senti meter. Katanya ia disewa dua hari dan ibu bilang sudah biasa kalau
esok pagi Bapak baru bisa pulang.
Angketku setumpuk
di atas meja. Tak ada Bapak artinya tak ada guyonan tengah malam. Apalagi Ibu
akrab dengan kursi rodanya seharian. Ibu bukannya tak sedekat aku dan Bapak. Ia
tak suka diajak bicara, bercanda, dan membicarakan pernikahanku ataupun Mas
Nakib. Cuma Bapak yang antusias menyinggung hal itu. Ia juga tak suka ditanya
kronologi kelumpuhannya. Ibuku pendiam bukan main.
Mas Nakib
memutuskan tak ikut ke Surabaya. Namun angket yang kusebar –dengan bantuan seorang
teman– di tempat pelacuran itu memaksa hatiku untuk membulatkan tekad ke
Surabaya esoknya. Banyak jawaban para PSK yang begitu menggetarkan hati. Jam
satu malam nanti, aku janji akan mengitari tempat itu, mencari sumber yang
dapat kujadikan batu loncatan saat sidang. Sudah jam dua belas, tak ada suara,
tak ada yang membuka percakapan. Kuhampiri Ibu di kursi roda, mengantar dan
memapahnya agar dapat menyentuh ranjang. Aku pamit. Jangankan menatap, melirik
sedikit saja tak Ibu lakukan sedari tadi. Ia berbalik membelakangiku, menarik
selimut hadiah pernikahanku dengan Mas Nakib sampai wajahnya tak menyembul
lagi. Dulu Ibu menikah muda, dan sekarang hampir berkepala empat. Pun Bapak,
selisih umur kami hanya dua puluh satu.
Mesinnya sudah
menyala, langsung saja kuinjak pedal gas seraya membelok-belokan setir. Tak
sulit mengendarai Jeep hitam Mas Nakib, tapi pikiranku terasa lebih sulit, keruwetan.
Kalau Bapak sedang tak di rumah, bagaimana Ibu bisa melakukan hal-hal normal?
Aku sudah sampai tikungan menuju daerah itu. Lama di Jakarta membuatku lupa banyak
jalan dan perempatan sekitar. Bertanya pada Bapak takut dikira yang
tidak-tidak, kalau tanya Ibu sudah pasti tak dijawab. Tapi kata orang-orang,
jalan yang kuambil sudah benar, walaupun bapak-bapak tukang becak ‘anjelo’ di
persimpangan bikin risih tak tanggung-tanggung. Anjelo; antar jemput lonte,
begitu mereka menyebutnya. Katanya, kalau pakai mobil, ya, terus saja masuk
gang, nanti bisa cari tempat parkir. Di tempat sempit begini? Sayang betul,
takut terbentur.
Memang, tak
ada pemandangan nyaman kalau sudah malam begini. Beberapa angket menarik sudah
kukantongi. Jelas saja banyak yang melambai-lambaikan tangan, menyetop, bahkan
mengetuk-ngetuk kaca mobilku. Mas Nakib mengganti kaca hitam mobilnya bulan
lalu, mungkin mereka mengira bahwa aku seorang pria yang haus dan siap menggaji mereka malam ini.
Ayolah, ini begitu menyebalkan. Begini saja belum cukup sabar, kurasa dulu aku
salah ambil jurusan kuliah. Sudah lampu jalan memakai kerudung. Hidup segan,
mati tak mau. Remang!
Selagi mencari
tempat parkir yang layak, membunyikan klakson pun tak mengalahkan riuhnya
suasana malam komunitas pelacuran kebanggan mereka. Baiklah, aku ragu. Apa bisa
bertahan barang dua jam saja di sini? Atau malah aku bisa larut sampai pagi? Ya
Tuhan, memikirkannya saja benar-benar membuatku geli. Tak ada yang main di sudut,
mereka bertebaran menggoda apa saja yang lewat. Bahkan ini lebih dari sekedar
macet yang begitu memuakkan. Kutebak, yang rambutnya pirang memakai rok dua
puluh senti meter diatas lutut itu masih SMP. Ia melenggak-lenggok pintar masuk
ke dalam gedung abu-abu di sebelah kiriku, entah tempat macam apa di sana.
Setidaknya mereka masih normal, penyuka lawan jenis. Aku mengatur napas,
menyugestikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kuputar setir
ke kiri. Jalanan mulai terasa becek juga lengket. Hujan masih belum berhenti,
tapi masih cukup ramai untuk ukuran tempat pelacuran. Banyak warna lampu yang
menghiasi gedung-gedung sebelah kanan. Tidaklah luas, hanya mobilku yang
jalannya lamban. Mataku sibuk melihat sana-sini. Bahkan aku lupa apa yang harus
kulakukan jika nanti harus turun. Kalau sebelumnya banyak perempuan tulen
berserakan dengan balutan kain seadanya, di sini lain lagi. Hujan tinggal sisa
gerimis dan tempat ini lebih nyaman. Ingin sekali kuhirup udara malam mereka,
aku membatin bertanya-tanya, jadi kuturunkan pula kaca jendela mobil. Tahu aku
seorang wanita, tak ada yang menyetopi. Mana selera! Toh, mereka laki-laki yang
menyukai laki-laki lainnya. Tapi yang kutahu, laki-laki tak memakai rok mini apalagi
kutang berbusa. Lalu mereka ini apa? Mual.
Drit!
Ban Jeep hitam
Mas Nakib berderit. Aku tertegun, mobilnya kurem mendadak cuma-cuma. Seperti
ada yang menusuk-nusuk perutku barusan. Orang-orang marah, berkerumun
meneriakiku dari luar, naik pitam takut mati hampir tertabrak. Tapi badanku
rasanya terbakar api unggun Bapak, Desember tahun lalu. Tak ada yang menghalangi
lampu sorot Jeep hitam Mas Nakib. Ia menerawang sisa gerimis yang mulai
kekuningan. Lampu jalan juga remang kekuningan. Aku menarik nafas panjang,
berharap rabun dan silindrisku kambuh sekarang juga. Suasana kisruh, pikiranku
lebih kisruh. Mataku mulai perih, berair. Jantungku berdetak tak tahu tempat.
Mereka masih berteriak sampai serak. Gigit bibir, kuacak-acak angket yang
kubawa. Satu per satu, memastikan sesuatu sampai pada lembaran ketujuh belas;
si tunggal tak beri apa-apa, melacur juga bisa melucu, duitnya lagi banyak,
lagi mudah.
Kubanting
pintu mobil. Semua angket kubawa turun. Menembus banyaknya gelagat laki-laki
bukan laki-laki yang menyumpah serapah di udara. Gerimis masih terasa, angin
malam juga ikut terbaca. Aku masuk dalam cahaya lampu sorot Jeep hitam Mas
Nakib. Hatiku teriris-iris gerimis. Mataku tumpah. Laki-laki berkepala empat
itu masih sibuk merapikan ‘mini dress’-nya, memadatkan dada dengan kapas bantal,
membelakangiku yang kepanasan di tengah gerimis. Tapi, Mas Nakib belum bicara. Kurobek
angket-angket itu di depan wajahnya. Kapan ia ke Surabaya? Ia baru saja
mengelus kepala Bapak. Bibirku bergetar, tak ada yang harus dijelaskan.
“Ceraikan aku,
Mas!” Bapak berbalik. Matanya seakan mau loncat, terbelalak. Aku menyapu gerimis
yang mulai membasahi sebagian wajahku. Bukan saat yang cerdas untuk menangis.
Buang-buang air mata! Tapi wanita mana yang tak perih hatinya? Ya Tuhan, aku
tak secerdas itu. Semua mata mulai tertuju padaku, pada Bapak, pun Mas Nakib.
Aku meremas ujung bawah kemejaku, menahan marah di tenggorokan. Aku berlari
masuk ke dalam mobil, mengusap hidung, mengusap mata, menutup mulut. Mas Nakib mengejarku
dan mengambil alih setir mobil. Kupilih jok belakang, bersender menangis
sejadi-jadinya.
“Sudah,
Elma....”
Cukup di depan
beranda. Mas Nakib kutinggal lari masuk rumah. Biarlah. Ia bukan laki-laki.
Kuatur napasku di depan cermin, sekali-kali melirik Ibu yang masih terlelap.
‘Semua akan baik-baik saja, Elma’. Air mataku mengering, kuperbaiki tampilanku
senormal mungkin. Tak perlu menangis menjelang pagi.
Bapak pulang.
Ia mengetuk pintu tiga kali lalu masuk menghampiriku. Riasannya lebih
berantakan. Seperti biasa, ia kembali sebagaimana ia pergi. Setelan badutnya
masih warna-warni, wignya masih merah mengeriting, perutnya tetap gembul. Sudah
berapa lama Bapak-ku sepintar ini?
“Badut itu
lucu, Pak. Bukan cantik.”
Medan, 09
januari 2016
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan :)