Sunday, 24 April 2016

Cerpen: INDUNG

*Dimuat di Tabloid Suara USU edisi 106 April 2016



INDUNG

Oleh Raihan Uliya
Ilustrasi oleh Arman Maulana Manurung | Redaktur Cetak Suara USU



            Kata Bapak, Mak sudah mati. Dadanya tak lagi ranum sebab ia lahir tanpa rahim. Aku diam, tak mau tanya Bapak lagi.
Kami bertuhan Padi. Kiranya begitu ucap Bapakku lima tahun lalu. Pun belalang adalah para Nabi-nabi. Tapi Mak, tak kenal cinta pada Padi. Ia ajak aku menyembah Tuhan lain pula. Aku bilang aku bertuhan Padi. Mak bilang Padi bukan Tuhan. Aku tanya kenapa Tuhan begitu ramai. Mak jawab Tuhan tak ramai, hanya aku harus pintar memilih. Maka aku pilih Padi. Mak beri aku waktu pilih lagi pandai-pandai. Pilihanku tetap Padi. Tak sampai tiga menit, Mak mati.
 “Kau harus melacur.”

Maka hari itu aku tahu, kau akan menyandang predikat garis turunan moyang kita: pelacur. “Bukan di jalanan, Sayang,” uajr laki-lakimu, pelan, sedingin angin dermaga malam. Kakimu diciumi berkali-kali oleh laut. Kau diam. Di ujung sana, ada langit dan laut yang bertemu. Senja tadi, mereka menelan matahari hidup-hidup. Ini malam berat, tapi kau harus.
Kata orang kau sintal. Mak juga bilang begitu padaku. Perempuan penyembah Padi harus melacur saat berkepala dua. Mak ingatkan tentang aku lima tahun lagi. Banyak orang-orang berbalut kain hijau datang ke kampung kami setiap Januari. Orang-orang itu besar-besar, hitam-hitam, bengis-bengis. Orang kampung menyebutnya orang hijau. Pada satu malam orang hijau bawa Bapak.  Lalu aku tanya Mak ke mana Bapak pergi.
“Perang belum usai, Dek Nong.”
Hari-hari Mak bagi cerita tentang kau. Tapi, dulu Bapak bisik aku kalau kau tak lebih dari sekadar dongeng orang kampung kurang maju. Jika matahari sudah hidup lagi pagi-pagi, sauh-sauh sudah sampai di dermaga, air laut tenggelam lagi jauh-jauh, mataku akan berbinar. Kau seperti hantu dalam kepalaku. Aku pikir kau tiap malam, saat bulan masih bulat sampai bulan tinggal segaris di makan langit. Burung pun tak berkidung saat kutanya harus percaya Mak atau Bapak. Namun, entah kenapa, aku percaya tentang mencari jawaban di laut. Mak bilang, kau datang dari laut.
Kata Mak, kaubilang sejak dulu sudah begitu. Takdir penyembah Padi tak akan pernah melongok ke mana-mana. Orang-orang hijau itu memperladangimu, atas pinta laki-lakimu. Puan ayu memang harus memperladangi pada masa itu atau laki-lakimu akan berdarah lebih cepat. Bergram-gram air menggelayut di kantong mata setiap puan. Orang merah jangan tanya. Orang merah, orang hijau, sama saja.
“Jangan menyembah Padi, Dek Nong. Bapakmu tak suka.”
Mak peluk aku erat. Napasnya menderu di sekitar tengkukku. Ia ceritakan kau lagi. Tuhan cuma satu, bisiknya. Masa itu, masa pertama orang hijau temukan kampung kami. Suara para tetua diredam dan hilang tiga hari kemudian. Apalagi kabar Tuhan, jumpa Tuhan saja tak pernah. Walau begitu, orang kampung berkukuh Tuhan benar ada, termasuk kau. Tapi orang hijau dan orang-orang merah minta banyak puan ayu nan subur. Mereka berbondong-bondong turun ke pemukiman penduduk, menebas gubuk yang mulai lapuk. Amarah membuncah di setiap sudut kampung. Tanah kami jadi kejam berdarah-darah. Sungai-sungai jadi merah, ikan-ikan mati, parit-parit bau busuk.
Kau memulainya, Ni.
Kau berteriak lantang di depan orang-orang hijau, orang-orang merah. Menyumpah, merapal-rapal bahasa langit. Tapi, Mak tak lanjutkan lagi kisahmu. Kau dan kisahmu menggantung di seluruh sarafku. Mak diam sejenak. Ia melepas pelukannya dan menatap jauh ke ujung laut. Angin dermaga menyibak rambutku, mengeringkan sungai di garis-garis sudut mata Mak. Kisah itu berhenti sampai Mak menarik napas lagi. Ia tak menatapku lagi kali ini. Katanya, kau mati di atas tumbuhan Padi. Tubuhmu terbagi. Dan mereka mulai menyembah Padi.
“Saat kausembah Padi, artinya kausembah Ni Rasti, Dek Nong.”
Padi, Ni Rasti! Kami para penyembah Padi berhutang budi pada Ni Rasti. Mendiang Ni Rasti dikirim ke laut. Kita yang betuhan Padi harus menebus dosa, tak boleh ada kesalahan yang sama saat jadi puan berkepala dua. Begitu aturannya. Kali ini lagi sama, orang hijau sudah sampai. Orang kampung ternyata tahu diri, para puan terpilih sudah diasingkan barisannya. Aku belum juga lihat rupa Bapak sedari kemarin. Lalu aku tanya Mak tentang Bapak. Kata Mak, tak perlu tanya Bapak, asal aku tak sembah Padi. Bisik-bisik menyelimuti barisan orang kampung. Sempat aku curi dengar, kalau tak sembah Padi, Bapakku tak akan pulang lagi. Mak tak akan jumpa Bapak lagi. Aku tak akan peluk Bapak lagi. Bapak akan mati, seperti matinya surau di masa dulu.
Aku kembali menata sesuatu, perasaanku.
“Aku sembah padi saja, Mak,” kueja kalimat itu lamat-lamat.
“Sejak kecil aku sudah sembah padi, Dek Nong. Ketahuilah satu hal, sejatinya, apa yang kau lakukan adalah tentang cara memilih jalan yang menurutmu pantas untuk kau pilih. Tapi tentang ber-Tuhan pada apa dan siapa, kau harus pintar. Memilih Tuhan artinya memilih moral yang akan kau teruskan pada keturunanmu. Itu saja, lalu terserah.”
Mataku berat, kugigit-gigit bibir. Lalu laki-laki hijau itu datang, memecah lamunan yang telah kurajut rapi-rapi. Bapak pulang, tapi aku tak nampak Mak serta. Tubuhnya bau keringat campur debu seraya menghela napas berat.
“Kau mati saja daripada harus sembah Padi.”
“Di mana Mak?”

“Mak tak ada, Dek Nong!”

2 komentar:

arumtrich said...

waah berat, masih gagal paham ceritanya ehehe. tapi ketje

Unknown said...

Hai Arum, terimakasih sudah membaca ^^ cerita ini menjelaskan bahwa tidak semua anak perempuan lahir dengan kebebasan dan jalan hidup yang sama, kadangkala, sebagian dari mereka harus mengikuti adat amoral yang mewabah dan menjadi rahasia umum tanah kita, melacur misalnya hehe

Jangan lupa, kamu bisa baca cerita saya yang lain di blog ini dan artikel-artikel saya di Hipwee yaaa

Post a Comment

Silahkan :)