Monday, 15 February 2016

Ibu dan Malam di kereta api.

Dua kakak-beradik saling bercerita satu sama lain | Raihan Uliya

Raja siang telah berjubah. Pekat. Lampu-lampu menyala. Barulah semua wajah dapat kupandang jelas-jelas. Berhubung kurang penumpang, aku tak banyak bicara. Duduk sendirian di kereta api itu bukan hal yang asyik untuk sekedar menikmati perjalanan pulang. Hujan mengguyur habis seluruh stasiun yang kami lewati. Orang-orang berpayung dari jendela, jaket-jaket menjadi selimut paling berharga.

Malam yang dingin.

Hatiku lebih dingin. Semua jenis percakapan berhamburan di setiap sudut kereta. Namun ada yang menarik perhatian daun telingaku, percakapan dua orang anak di bangku seberang. Menyita waktu yang benar-benar ngilu.

"Cerita dong, Kak."

"Kisah apa?" 

"Ibu."

"Ibu itu nggak ada. Kamu aja kali yang kebanyakan denger dongeng."

"Trus ayah datang dari mana?"

"Kenapa nggak nanya sendiri sama ayah aja?"

"Nggak berani. Matanya hitam berkantong, nggak senyum-senyum pula."

"Mungkin ayah capek. Tahu nggak? Perempuan ayah udah lama hilang..."

"Perempuan ayah? Siapa?"

"Ibu."

"Tadi kakak bilang ibu itu nggak ada."

"Iya, ibu memang nggak ada loh, Sayang..."

"Terus kita dateng dari mana?"

"Perempuan."

"Aku perempuan, kok. Berarti kakak dateng dari aku, terus akunya dateng dari mana?"

"Nggak semua perempuan itu perempuan."

"Oh, jadi aku ini perempuan yang bukan perempuan? Memangnya perempuan yang perempuan itu siapa?"

"Perempuan ya tetep perempuan. Tapi, perempuan yang paling mulia itu ya Ibu."

"Kakak ini gimana, sih? Katanya Ibu nggak ada, tapi dari tadi sedikit-sedikit ibu."

"Memangnya kamu pernah ketemu ibu?"

"Nggak."

"Lha, terus ngapai nanya-nanya, sih?"

"Ayah, Kak..."

"Kenapa ayah, De?"

"Kakak kapan sih bakal ngejawab aku?"

"Kamu kapan sih berhenti nanya?"

"Kapan ibu dateng ke sini?"

"Ibu nggak bakal dateng lagi kesini..."

"Kata ayah, ibu bakal dateng, kok."

"Nggak bakal. Ngerti nggak, sih?"

"Kakak jahat."

"De, dengerin kakak. Ibu kita itu cuma satu. Waktu kamu nyampe ke planet kita, Tuhan kangen sama ibu, ibu juga kangen sama Tuhan. Nah, kalo mereka saling kangen, ya ibu nggak bakal balik lagi, dong."

"Ibu ke mana?"

"Nggak tahu. Udah ah, sini tidur aja di bahu kakak. Biar kamu mimpi ketemu ibu. Karena nggak tahu wajahnya, nebak aja deh. Ibu kita cantik, loh."

"Bahu kakak sama nyamannya kayak bahu ibu, ya?"

"Nggak, De. Tapi ya berdoa aja biar sama nyamannya kayak punya ibu. Tahu kan? Sejauh apapun jarak, doa kita bakal sampe, kok."

Tak sampai satu menit kemudian, suasana kereta api lengang. Percakapan itu telah usai. Semua orang sedang sibuk menenangkan diri masing-masing, terlarut dalam malam tanpa bulan. Namun ada yang menggelayut di kantong mataku. Layaknya kekurangan cahaya, mataku buram lamat-lamat. Kupejamkan mata. Sadar betul, bola mataku perih. Bulir-bulir menetes menikmati instrumen Good Morning Rain  oleh Jubing Kristanto. Semakin malam, semakin dingin.

"Mba, baik-baik aja?" Aku mengangguk sembari tersenyum. Pria itu melongok di depan wajahku. Ah, barusan kita berhenti di satu stasiun dan pria ini yang naik, duduk di sebelahku dengan lesung pipinya.

Aku memperbaiki posisi kerudungku. Menunjukkan wanita yang bersikap normal. Duduk agak tegak dan menerawang jauh ke luar jendela yang berembun. Kadang, kulirik dua anak tadi. Yang perempuan, si adik, tengah dipeluk oleh yang laki-laki, kakaknya. Dengan jaket seadanya, ia terlelap dalam damai melodi hujan. Tapi si kakak masih terjaga, merenungi jendela yang basah. Rasanya banyak jarum yang menghujani kepalaku. 

"Perempuan yang baik mana ada yang suka nangis, huh?" Pria itu menawarkan saputangan coklat muda polos. Pikiranku masih kacau. Tak terpikir kalau harus menggubris obrolannya.

"Mau disapukan sendiri atau saya yang sapukan air matanya, Mba?" 

"Terimakasih, Mas. Jadi repot..." Kusunggingkan senyum, ia pun tersenyum. Lalu tanpa malu, kuambil saputangan coklat muda itu.

"Saputangannya disimpan saja, Mba. Nanti, kalau kita ketemu lagi, kembalikan ya. Sekaligus ceritain tentang apa yang bikin Mba sampai nangis, hm?"

Dan, kita tertawa.


Raihan Uliya
15 Februari 2015

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan :)