Saturday, 10 September 2016

Tak ada yang sama lagi jika kau kembali

Tak ada yang sama lagi jika kau kembali.
Kalau sudah begitu, untuk apa kau kembali?

Bagi sebagian orang, pergi adalah keputusan yang lumrah, pun bagimu, kan?
Kau bukan petani yang baik. Hari-hari sebelumnya kau menabur benih. Kau tunggu hari-hari sampai pagi bertemu pagi. Lalu kau pilih pergi.

Tuan, benih itu tumbuh lepas kau pergi beberapa hari.

Dan, kau tahu betul atmosfir kita dikelilingi orang-orang baik.
Orang-orang baik suka memupuk hati.
Bersubur-subur.
Sampai benih tak tahu bahwa ia punya Tuan

Tuan, ketika ia tak tahu kau, untuk apa kau kembali?

Dan, kau tahu betul tak ada yang perlu dibuktikan
Sebab benih tidak kembali pada orang-orang yang meninggalkannya pergi agar mati

Kutanya lagi
Lagi kutanya kau, Tuan
Untuk apa kau kembali?


Salam hangat,
Raihan Uliya

Tuesday, 23 August 2016

Dijodohin Ala-Ala Film India? Plis, Memilih Pasangan Hidup Itu Gak Sepele

*dimuat di Hipwee C

Oleh: Raihan Uliya

Ah, membahas perkara pasangan hidup memang nggak bakalan ada habisnya. Seakan-akan banyak banget poin yang harus kita bahas satu per satu. Apalagi tentang jodoh, jangankan siapa, kadang wujudnya pun tak tahu seperti apa.
Gara-gara kosakata ‘jodoh’ ini nih, kosakata ‘dijodohin’ akhirnya mencuat ke permukaan. Malah, bagi sebagian orang, ‘dijodohin’ tentu lebih seram dari semua film horor yang ada di muka bumi.

Kenapa bisa begitu?

Salah Nggak sih Kalau Cemburu?

*dimuat di Hipwee C

Oleh: Raihan Uliya

Sebenar-benarnya kata orang, cemburu itu tanda sayang. Apa iya?
Cemburu itu udah kayak makanan sehari-hari. Rasanya nggak afdol kalau sehari aja nggak cemburu lihat si dia bareng yang lain walau cuma ‘say hello’ doang.

Kamu tipe yang ini? Selamat, kamu terdampar di tulisan yang tepat.

Sebenar-benarnya kata orang, cemburu itu tanda sayang. Apa iya? Kalau kata saya, cemburu itu nandain kalau kamu benaran manusia atau bukan. Setiap manusia yang beriman, eh maksudnya yang punya perasaan pasti ngerti banget cemburu ini sebenarnya barang apa. Sayangnya, kadang cara kita menyikapinya ini nih yang bikin cemburu jadi nggak asyik sama sekali.

Nah, kesimpulannya, nggak ada yang salah dari cemburu, kok. Tos!

Dia Selingkuh, Kalian Putus, Yakin Nggak Mau Move On?

*dimuat di Hipwee C

Oleh: Raihan Uliya

Sampe elo harus cari-cari cermin sekeliling rumah, cuma buat ngaca dan ngumpat dalam hati, ‘See, kurang apa sih gue?’
Putus? Damn!
Rasanya akhir-akhir ini banyak petir yang menggelegar berkeliaran. Sampe elo harus cari-cari cermin sekeliling rumah, cuma buat ngaca dan ngumpat dalam hati, ‘See, kurang apa sih Gue?’

Guys, percaya deh, di mana-mana tuh nggak ada yang namanya putus rasa nastar durian, yang kalo udah putus terus elo bisa langsung baikan dan maaf lahir batin ala-ala lebaran. Plis, sampe lebaran ayam dan si ayam punya cicit seratus turunan juga nggak ada yang begituan. Ini bukan jamannya Adolf Hitler, yang kalo lo nggak suka, matikan si dia, kelar.
Tapi, kenapa elo masih nggak bisa move on?

Wednesday, 3 August 2016

Cerpen: LADANG

Foto oleh: hiddenmemory.blogspot.com
Oleh: Raihan Uliya

Wanita itu terlalu pendek. Bahkan aku tak tahu bagaimana ia bisa kupersilakan menduduki salah satu teratak di sebelah pohon sirsak kami –aku dan kau tahu siapa. Salahkan matahari. Kalau kutahan dua jam saja, aku bukan manusia lagi. Teriknya tak mengapa. Namun, ia malah suka mendidihi lalu-lalang udara yang tak sesejuk pagi tadi. Kutinggalkan wanita itu dan buru-buru memayungi kepalaku.

Tuesday, 10 May 2016

KIDUNG


Kidung


Raihan Uliya


Ini hari kelima. Kalau sudah mendua hati, apa esok senja akan tetap jingga, Nona?

Tak apa, mala saja hati Tuan.

Sebab aku sudah kata, Nona. Tak semua bibir dapat kau inapi. Kita tak lahir jadi vampir, pencari merah tanpa matahari.

Asal,
Tak sampai pula daku tuai lian, Nona.
Mala saja, mala saja. Tak-apa.
Aku mala, asal kau tak tian jua. Tak-apa.
Hanya saja, hati mala benar mati. Itu-saja. Tak-apa, kan, Nona?

Sunday, 24 April 2016

Cerpen: INDUNG

*Dimuat di Tabloid Suara USU edisi 106 April 2016



INDUNG

Oleh Raihan Uliya
Ilustrasi oleh Arman Maulana Manurung | Redaktur Cetak Suara USU



            Kata Bapak, Mak sudah mati. Dadanya tak lagi ranum sebab ia lahir tanpa rahim. Aku diam, tak mau tanya Bapak lagi.
Kami bertuhan Padi. Kiranya begitu ucap Bapakku lima tahun lalu. Pun belalang adalah para Nabi-nabi. Tapi Mak, tak kenal cinta pada Padi. Ia ajak aku menyembah Tuhan lain pula. Aku bilang aku bertuhan Padi. Mak bilang Padi bukan Tuhan. Aku tanya kenapa Tuhan begitu ramai. Mak jawab Tuhan tak ramai, hanya aku harus pintar memilih. Maka aku pilih Padi. Mak beri aku waktu pilih lagi pandai-pandai. Pilihanku tetap Padi. Tak sampai tiga menit, Mak mati.
 “Kau harus melacur.”

Monday, 15 February 2016

Ibu dan Malam di kereta api.

Dua kakak-beradik saling bercerita satu sama lain | Raihan Uliya

Raja siang telah berjubah. Pekat. Lampu-lampu menyala. Barulah semua wajah dapat kupandang jelas-jelas. Berhubung kurang penumpang, aku tak banyak bicara. Duduk sendirian di kereta api itu bukan hal yang asyik untuk sekedar menikmati perjalanan pulang. Hujan mengguyur habis seluruh stasiun yang kami lewati. Orang-orang berpayung dari jendela, jaket-jaket menjadi selimut paling berharga.

Malam yang dingin.

Hatiku lebih dingin. Semua jenis percakapan berhamburan di setiap sudut kereta. Namun ada yang menarik perhatian daun telingaku, percakapan dua orang anak di bangku seberang. Menyita waktu yang benar-benar ngilu.

Saturday, 13 February 2016

Bukan senja, Tuan.

Pelangi dan Butir-butir air hujan saat senja | Raihan Uliya

"Sore itu aku berteriak lagi, Dik. Tapi ia berkeringat."

"Siapa?"

"Langit." Begitu katamu dua tahun lalu. Tapi langit tak berpeluh, Tuan. Ia hanya pintar menangis.

"Langit tak perlu menangis, Dik. Ia bisa saja lelah mendarahi setiap laki-laki." Lalu kaubilang ia telah jatuh cinta pada laut. Berbiru-biru. Berhitam-hitam. Berhijau-hijau. Dan senja memuncak, bermerah-merah di ujung sana. Mereka bertukar kasih di ujung laut, di ujung langit. Senja tetap senja. Pun matahari mengejar senja sampai ke ujung sana. Mencari merah. Namun kautahu, langit dan laut tak punya surat izin tinggal. Sengketa pun menyeruak. Matahari membakar laut dan langit menelan matahari. Dendam membuncah di sekujur tubuh senja. Ia menyayat semua cinta. Tertawa-tawa.

"Senja itu kejam, Dik." Bisikmu saat menelenjangi mataku."Namun tunggulah sebentar lagi. Saat perang di ujung senja usai, kau boleh pergi. Senandungkanlah Sailo dari tanah Toraja."

Kau lagi kejam, Tuan. Melebur jadi senja.

Saturday, 6 February 2016

Obrolan Sang Bapak

Mendengar obrolan sang bapak tersebut dengan rekannya, seketika hati saya menciut, meringis pedih sekali. Memang, hanya sekedar obrolan yang terkesan biasa bagi sebagian orang di kota ini. Alih-alih tanggapan orang lain, saya hanya mampu menggigit bibir hingga luka, menahan air yang menggelayut di kantong mata.

Beberapa waktu lalu, ada semangat untuk mencari pekerjaan sambilan di kota ini. Ya, standar waktu seorang mahasiswa rantauan. Sempat memilih dan memilah mana yang cocok untuk dijadikan tembakan. Akhirnya, saya putuskan mengirim lamaran, cv, dan berkas lainnya ke suatu perusahaan yang menerima kerja part-time mahasiswa.

Terlepas dari perihal kerja part-time yang akhirnya saya mengundurkan diri dan lebih memilih menjadi seorang freelance, momen dalam angkot saat hendak melamar kerja hari itu bener-bener bikin saya merinding sampai seminggu kemudian.

"Jangan kau bilang sama istriku itu! Biar dia jadi anjing, urusi anak-anaknya sendiri."

Istimewanya, beliau duduk di sebelah supir. Jadi saya tak perlu mengetahui ekspresinya saat mengatakan kalimat menjijikan seperti tadi.

"Halah, cewek di sini murah, dua ratus bisa dapat satu malam! Kau tunggu aku di Putri Hjjau, simpang stasiun," tambahnya dalam percakapan yang si bapak dan entah siapa lakukan lewat telepon.

Entah beliau lupa atau bagaimana, istrinya sedang menangis di sebelah saya. Kulitnya kering, berbasah-basah air asin. Namun, gadis kecil itu hanya sibuk bertanya, 'Mamak kenapa?'

Thursday, 4 February 2016

Sekedar Cerita Biasa: Minggu dan Kau, Pria Berkacamata

Minggu dan Kau, Pria Berkacamata
Oleh Raihan Uliya

Aku tak perlu menyanggah bahwa Tuhan memang pintar menciptakan kisah-kisah kita. Bahkan, aku merasa tak tertarik lagi menjadi seorang penulis. Sadar diri. Tulisan seluruh penyair sejagat raya, novelis, atau lain semacamnya saja belum bisa kutaklukan apalagi milik Tuhan. Tuhan Maha Pintar membumbui rasa, menyenggol saraf-sarafku.
Bukan sebab dari mana semua ini berawal. Tahu dirimu saja tidak. Tapi Medan Minggu pagi masih sejuk. Sisa-sisa embun semalam menguap bercampur abu yang sebentar lagi akan memenuhi setiap sudut kota. Sebelum matahari bangun, tentu masih sejuk.
Aku memperbaiki posisi selendangku. Kupilih cream yang dipadukan dengan coklat tua. Kata seorang teman, seleraku memang jelek. Tak begitu suka warna perempuan. Merah muda, misalnya. Namun kurasa, cream dan coklat tua itu lebih manis di Minggu pagi. Aku suka kemeja. Tapi long-dress terasa lebih bersahabat. Mengenakan kaus kaki, namun tidak mengoles apapun di bibir. Tak perlu protes, karena remaja 18 tahun tak perlu bernorak-ria seperti itu. Kalau menjadi perempuan imut menggemaskan adalah cita-cita,

Wednesday, 27 January 2016

Cerpen: "Alan, Pulang..."

Oleh Raihan Uliya



Kata Mamak, selepas remajaku pergi, boleh pilih jalan mana saja, apa saja, asal bertuhan. Tapi pagi itu, Mamak terlalu keras meraung. Gemanya sampai ke udara lima rumah tetangga sebelah kanan. Ia bukan tipe wanita yang senang berbagi, melainkan senang mengunci tampang saat hari mulai gelap. Tapi bukan itu yang aku resahkan sejak sejam lalu, melainkan Mamak dan ruangan empat kali empatnya, barangkali tidak ada perkakas kamar yang utuh lagi. Mamak terus saja melempar sesuatu, benturannya terdengar akrab dan jelas di telingaku. Aku tahu. Banyak luka di hati Mamak, namun aku tak pernah paham.

“Ia lebih cantik dariku, kata Alan.” Lebih dari tiga puluh kali istilah itu masuk ke telingaku, obsesi Mamak terhadap Alan begitu kuat. Gadis itu beralis tebal, lekukan hidungnya mungkin saja sempurna seratus enam derajat. Saat aku melihat gadis itu, ia bertaruh, aku akan jadi salah satu saingan para lebah manis seantero jagat raya. Lantas ini taruhan menyebalkan, mengapa aku harus jatuh hati pada gadis dengan lekukan hidung seratus enam derajat?

Puisi : Kalau Bisa

Oleh Raihan Uliya

Selamat pagi, Ayah
Mari kuberi tahu
Perempuanmu mencuri akalku
Ia membawa lari garis bibirku
Menyusup ke dalam darahku
Lalu semena-mena mengusik sepertiga malamku
Kau tahu?
Pagiku tenggelam dibuatnya
Kelilinglah di surga, Ayah
Culik perempuanmu
Kalau bisa, bawa pulang
Aku rindu

22 Desember 2015

Salam Hangat, 
Raihan Uliya

Friday, 15 January 2016

Serius Ini Bukan Cerpen: Kak!

Sekedar, lewat, ya? Hoho


Kak!
Oleh Raihan Uliya

Bola matamu menghitam. Dinding-dinding kamar kita mencair. Kak, jangan marah. Sebentar saja kita tanya Mamak sampai besok. Kak, jangan bodoh. Kau pikir berapa umur Mamak?
Ah, dinginnya bukan main. Jangan pakai jaket. Jangan nyalakan api unggun. Jangan tengok ke belakang, Kak. Tiga jam lalu ada ombak laut di kamarku. Sungguh, ia bukan riak. Ia menggulung-gulung badanku. Tabrak dinding kiri, tabrak dinding kanan. Ia senanar matamu, mengombang-ambing tubuhku sampai gelap. Kamarku jadi basah, lembab.
Ah, basahnya bukan

Cerpen: Angket

Sebenernya ini itu cuma sekedar cerpen lumayan abal-abal buat latihan mingguan pas di grup Nauvabook. HAHA, kalo ganiat mending gausah baca deh wkwk

Angket
Oleh Raihan Uliya

Tak pelak lagi, entah sudah berapa kali Mas Nakib mencuri-curi pandang. Kurasa ia terus menebak apa yang kurasakan. Ia memilih diam, menyetir. Instrumen Morning Rain oleh Jubing Kristianto berhasil menenggelamku di jok belakang. Rasanya lambungku perih, mataku... Ah, Mas Nakib terus melajukan Jeep hitamnya.
“Sudah, Elma....”
Kalau menekuni jurusan Psikologi di salah satu univeritas negeri di Jakarta itu mudah, mungkin aku sudah jadi sarjana setahun lalu. Tapi kali ini ceritanya berbeda,