Minggu dan Kau, Pria Berkacamata
Oleh Raihan Uliya
Aku
tak perlu menyanggah bahwa Tuhan memang pintar menciptakan kisah-kisah kita.
Bahkan, aku merasa tak tertarik lagi menjadi seorang penulis. Sadar diri.
Tulisan seluruh penyair sejagat raya, novelis, atau lain semacamnya saja belum
bisa kutaklukan apalagi milik Tuhan. Tuhan Maha Pintar membumbui rasa,
menyenggol saraf-sarafku.
Bukan
sebab dari mana semua ini berawal. Tahu dirimu saja tidak. Tapi Medan Minggu
pagi masih sejuk. Sisa-sisa embun semalam menguap bercampur abu yang sebentar
lagi akan memenuhi setiap sudut kota. Sebelum matahari bangun, tentu masih
sejuk.
Aku
memperbaiki posisi selendangku. Kupilih cream
yang dipadukan dengan coklat tua. Kata seorang teman, seleraku memang jelek.
Tak begitu suka warna perempuan. Merah muda, misalnya. Namun kurasa, cream dan coklat tua itu lebih manis di
Minggu pagi. Aku suka kemeja. Tapi long-dress
terasa lebih bersahabat. Mengenakan kaus kaki, namun tidak mengoles apapun di
bibir. Tak perlu protes, karena remaja 18 tahun tak perlu bernorak-ria seperti
itu. Kalau menjadi perempuan imut menggemaskan adalah cita-cita,
tentu parfum
bermerek sudah menghujani tubuhku. Namun nyatanya cita-citaku lebih menarik
dari sekedar imut menggemaskan. Kupikir sisa pewangi saat mencuci pakaian ini
dua minggu lalu masih menempel. Setidaknya, tidak apek dan tetap menjadi wanita
normal sampai namaku hilang dari peradaban.
Berterimakasihlah
pada Gramedia Book Store. Jangankan
kau, bahkan aku bosan menyengir dan melontar tawa beberapa kali. Kau tak kenal
aku, pun aku tak pernah berencana akan mengenalmu saat itu.
Hari
itu masih pagi. Jalanan lengang. Aku berlari sekonyong-konyong agar tak
ketinggalan angkot. Angkot pagi lebih ramah lingkungan, bukan? Jenuh betul
dengan rutinitas Senin ketemu Jumat, Sabtu lagi kalau-kalau latihan renang
menghantui. Serunya aktivitas sunrise ketemu sunrise. Makanya aku sering rindu pada
Minggu, pada kenangan antara aku dan buku yang telah lama tak terjamah lagi.
Sembari melepas penat yang begitu menyesakkan kepala, tahu-tahu kakiku sudah
menginjak pintu masuk mereka, Gramedia. Toko buku favorit dengan alunan
lagu-lagu menarik sepanjang tahunnya.
Biasanya
kalau sudah masuk, ya langsung bergegas menyapa rak-rak yang ditimbuni
buku-buku fiksi. Maklum, ada rasa bahagia tersendiri bagi pecinta fiksi saat
menemui anak-anak fiksi itu. Tapi kali ini ceritanya berbeda, tidak tahu
dirasuki apa dan siapa, semangatku lebih membuncah pada buku-buku berbau Hukum
dan Psikologi. Rak-rak itu bersebelahan. Mereka menjalin hubungan rukun
tetangga sejak lama.
Ada
banyak warna saat meciumi aroma khas debu-debu Hukum. Hukum itu sendiri, perdata,
pidana, kasus si fulan, konstitusi, kemahkamahan, dan entahlah. Aku tak begitu
paham dan hapal judul-judul mengerikan begitu. Sistem politikal benar-benar
mebuatku mual. Lain halnya dengan beberapa makhluk yang memang terlihat asyik
menekuri isi beberapa buku, ada yang mencari judul-judul tertentu, serta
merapal-rapal sesuatu dari bibirnya. Kriteria memang berbeda, walau mungkin
mereka juga suka komik Conan.
Sebelum
tubuhku lunglai dan sebelum mataku sayu mengitari rak-rak Hukum, aku melirik
tetangga mereka. Font Tempus Sans ITC yang digunakan cukup menjelaskan bahwa
kata itu bertuliskan “Psikologi”. Aku memahami satu hal, kupikir aku akan
mengidap fobia Hukum dan Politik kalau terlalu lama mengulik isi rak mereka
lebih dalam. Jadi, tanpa rasa tegang sana-sini, melangkah pulalah aku, menyungging
senyum yang kiranya hanya tersungging tiga senti. Gramedia terlalu ramai di
hari minggu. Biarlah apa kata orang, toh tampilanku masih rapi, kan? Ya, walau
sekedar berbagi senyum bahagia yang entah pada siapa.
Sembari
mengais folder di bilik-bilik kepalaku, mataku juga berlagak layaknya seorang
mata-mata kelas atas. Aku harus menemukan apa yang benar-benar kucari. Mengeja
setiap kata dan kalimat yang terpampang sebagai judul andalan mereka. Pucuk
dicinta ulam pun tiba. Hati ini rasanya sumringah luar biasa. Agak
tergopoh-gopoh merapikan selendang yang mulai tak sinkron posisinya, aku
buru-buru meraih judul yang kucari. Psikologi Anak. Rak ketiga, tingkat
pertama, dan buku paling kanan dari ujung. Lalu semuanya terjadi begitu saja.
Bahkan aku harus mengatur nafasku tiga kali.
Kau
juga mengambil buku yang sama. Padahal si Gramedia megah ini sudah mencetak dan
meletakkan puluhan buku yang sama. Tapi lugunya, kau dan aku mengambil buku
yang sama dengan urutan yang sama dan posisi yang sama. Jadilah kita
berpandang-pandangan. Lalu, kau tahu, semua orang tahu, saat menagalami ini
pastinya kedua dari kita akan berpura-pura mengalah. Memintamu mengambilnya
lebih dulu padahal tentu aku juga ingin mengambilnya lebih dulu. Namun rule kita memang begitu. Aku mulai
percaya bahwa orang Indonesia ini memang ramah. Setidaknya aku percaya kalau
aku juga orang yang ramah. Dan tentu kau juga orang yang ramah.
Aku
tidak tahu, apa karena aku terlalu banyak memakan buku-buku fiksi, atau memang
hidupku sudah digaris seperti ini. Aku canggung. Kau juga canggung. Mulai
pulalah kita menawari satu sama lain untuk mengambil buku itu lebih dulu.
Kemudian pun kedua dari kita tak ada yang ingin mengambilnya lebih dulu. Oh,
bodohnya. Kurasa moment ini akan
kumasukkan di dalam salah satu awkward
moment-ku. Kalau buku itu kuambil lebih dulu, aku jadi tak enak padamu.
Rasanya lancang betul. Kalau kau yang ambil lebih dulu, aku tak tahu apa kau
juga merasa tak enak atau bagaimana. Tapi yang jelas, satu judul buku ini sudah
membuat hidupku terasa lebih panjang di hari Minggu.
Sebagai
laki-laki yang bijaksana, kau mengambil keputusanmu dengan tepat. Kau ambil dua
buku, satu untukmu, satu untukku. Lalu kita berbagi tawa bahagia sekali. O ya,
mungkin ini bukan tawa bahagia, melainkan tawa sederhana agar suasana lebih
renyah dari yang pernah kita rasakan beberapa menit sebelum tawa bahagia nan
sederhana ini terjadi.
“Bukunya
buat apa, Mba?”
“Lah,
Mas ini bukunya buat apa?”
“Yaaah,
siapa tahu alasan kita sama, huh?” Kacamatamu miring. Kau bergumam banyak
sekali. Seolah-olah paham betul apa yang sedang kau baca. Sedangkan aku masih
melihat-lihat seraya menggendong buku yang menyebabkan kita bertemu,
seakan-akan aku sudah mantap memasukkannya dalam kantong belanja hari ini.
“Ya
untuk disimpan sekaligus sedikit dipelajari begitulah. Namanya juga nanti bakal
jadi Ibu, kan?”
“Lagi
hamil muda, Mba? Suaminya mana?”
“Masih
semester dua, kali Mas.”
“Aku
semester enam. O, masih muda udah ada yang ngelamar, gitu?” Aku tertawa. Tapi
ketahuilah, saat itu aku tertawa dengan keadaan tersinggung luar biasa.
Syukurnya kau rapi sekali. Kau tak pakai celana jeans layaknya yang biasa orang lain kenakan. Kau memantapkan
kemeja berlengan panjang dan kau kaitkan tiap kancingnya. Rambutmu tak ada
norak-noraknya. Kau pilih hitam di pinggiran kacamatamu. Seleramu bagus. Kuku-kukumu kau rawat dengan baik,
tidak panjang, tidak kekinian. Ditambah aksesoris jam tangan yang entah
keluaran mana. Kurasa kau lebih mirip kurir JNE dari pada seorang mahasiswa
tingkat enam. Sebab kau rapi, tawaku
agak lebih ikhlas dari kenyataannya.
“Kalau
begitu mah, aku saja yang ngelamar si Mba ini, gimana?” Jadilah kita saling
mengernyitkan dahi bersamaan. Kau menanti jawaban candaan lucumu, sedangkan aku
bingung menjawab candaan yang tak lucu begitu. Hari Minggu ini mengambang
antara lucu dan tiada lucu. Sungguh mengharukan bukan main.
Hari
itu berlalu begitu saja. Hari saat pertama kali aku kenal baumu. Hari kau
melontarkan candaan seorang pria semester enam. Hari Minggu yang membuatku
lebih memilih senyum dan bertingkah bodoh terhadap candaan tak lucu itu lalu
memutuskan untuk pulang. Saatnya makan siang.
Minggu
selanjutnya begitu lagi, sampai aku menyadari bahwa kau bukanlah kurir JNE,
melainkan salah satu karyawan part-time
di toko legendaris itu. Melihatku mampir, kau akan berakting seperti sales dan
melakukan beberapa pekerjaan tour guide. Harusnya
kau tahu, bertahun-tahun aku dan toko ini merajut kisah persahabatan yang baik
dengan penuh pengertian satu sama lain. Tak perlu sistem guiding, aku sudah mahir lebih awal. Tujuanku hanya sekedar
menghabiskan waktu menelaah beberapa buku yang belum habis kubaca. Belinya ya
nanti saja, belakangan kalau memang penting luar biasa. Tapi karena kau seakan
berprofesi layaknya pengawas pribadi yang dikirim ayahku jauh-jauh hari, aku
benar-benat merasa terhalangi.
“Kalau
ayahmu nanti kudatangi, Mba nerima lamaranku tidak?” tanyamu lagi dan aku lupa
berapa kali kau menanyakan itu sepanjang kita bertemu beberapa minggu terakhir.
Pasalnya, aku merasa tak enak pada seluruh rekan kerjamu yang selalu
bisik-bisik manja saat mata mereka menangkapku. Namun roman mukamu yang aduhai
itu terlalu datar, penuh kepercayaan diri, dan tak bisa diganggu gugat.
Menghelalah aku sejadi-jadinya.
Pagi
ini juga masih pagi. Maksudku, aku bangun lebih pagi. Libur tiga minggu. Ah,
itu masalahnya! Liburan di kota itu tidak sedap. Tiket kereta api sudah di
pesan dan aku akan kembali esok pagi, pulang ke kampung halaman. Pengalaman
naik kereta api sampai tujuan memang belum ada yang asyik diceritakan.
Menunggu, masuk mencari bangku, katakan ‘Hai’ dengan orang yang duduk disebelah
kiri dan depan, menatap ke luar jendela, sedikit mengantuk, ditanya lalu
menjawab, sampai. Apa yang menarik? Hidupku memang suka bersenggama dengan
kedataran, apapun bentuknya asal sebuah kedataran. Di kampung, mana ada yang
namanya Gramedia, makanya aku mengucap syukur berkali-kali sebab tak melihat
wajah berkacamata aduhai itu lagi.
“Dua
jam lagi, tunggu saja di depan pintu.” Benar saja. Akhirnya aku yakin bahwa
rumahku tak lebih dari sebuah wisma. Kupasang mimik senormal mungkin, melawan
hoyong sisa bau parfum ibu-ibu papan atas di kereta api tadi. Ingin hati
mengomel tapi tak tahu pada siapa. Ayah tengah di perjalanan pulang dari
bandara. Rumahku mungkin sudah ditempati berbagai jenis dedemit sejak tiga
bulan yang lalu. Kami hidup nomaden, sebulan bisa menempati tiga kota
sekaligus. Siapa yang katanya orang purba? Bedanya, kami hidup di zaman
tulis-menulis di dalam telepon genggam, makanan yang lebih normal, dan
berbahasa layaknya masyarakat normal pula.
Dua
jam bukanlah waktu yang sebentar. Bisa dipakai cuci pakaian, nonton televisi,
atau bahkan menguras bak mandi dan membersihkan rumah hantu ini. Wajahku
terkesan lebih kucel, sedikit nyengir kuda saat mobil sang ayah tiba dengan
memamerkan klaksonnya empat kali. Ayahku memang norak. Tapi semua tersangkalkan
saat ayah keluar dari pintu penumpang. Mana ada taksi di kampung nan ayu
bersahaja ini. Tanpa gontai, ayah bahkan lupa mencuri-curi pandang padaku. Ia
buru-buru membuka pintu dan memanggil si supir yang duduk di bilik depan mobil.
Menawarkan teh hangat dan beberapa biskuit. Bukan, bukan itu. Ayah menyuguhi
nasi uduk. Aku percaya itu nasi uduk Mak Ijah, selang tiga rumah tetangga
sebelah kanan.
Aduhai.
Mata sembab mempengaruhiku, terpelongo-pelongo saat kutatapi gerak-gerik sang
supir yang tengah beranjak menuju kami. Maksudku, Ayah. Rasanya berjuta-juta
batu menghujani kepalaku dari langit. Seperti orang bodoh tak tahu bagaimana
bersikap layaknya perempuan yang berwibawa dan agak elegan, kulirik ayah
tajam-tajam. Ayah pasti mengerti, kami sering melakukan telepati dari hati ke
hati.
“Bukan
supir, Put. Kamu ndak ingat anaknya
Om Haris?”
Ah,
kugigit bibirku kuat-kuat. Seingatku anak Om Haris tak punya masalah dengan
mata. Tapi, aku memang sempat membaca tulisan ‘Ridha Wibowo’ pada nametag yang ia kenakan saat bekerja part-time di Gramedia.
“Apa
kabar, Putri?”
Medan, 04 Februari 2016
8 komentar:
Padahal tulisan ini sejenis curhat kan han wkwkwk emang lu paling bisa dah han ngalihin wuahahahaha
makasi dika udah ngabari tulisan Mba Raihan yang ini, tapi sumpah ngakak banget wkwk kok rasanya nama gue jadi Ridha Wibowo han? *senggol
lu apaan sih, ngaco sering nyemak kaya nyamuk musim dingin heuheu
emang salah aja gua di mata ku dik hiks
emang bener aja gua di mata lu han, jadi haru gini eh
asal imut menggemaskan kan han wkwkwk
Ah tapi lu ngomen masa pake Name sih kagak pake akun gugel, ndak gentle wkwk
menuhin notif email gue aja waaaaah
Males login han :p
lagian ntaran lo malah klepek-klepek sama gue, kan gue baik, nggak tegaan
Post a Comment
Silahkan :)