Monday 15 February 2016

Ibu dan Malam di kereta api.

Dua kakak-beradik saling bercerita satu sama lain | Raihan Uliya

Raja siang telah berjubah. Pekat. Lampu-lampu menyala. Barulah semua wajah dapat kupandang jelas-jelas. Berhubung kurang penumpang, aku tak banyak bicara. Duduk sendirian di kereta api itu bukan hal yang asyik untuk sekedar menikmati perjalanan pulang. Hujan mengguyur habis seluruh stasiun yang kami lewati. Orang-orang berpayung dari jendela, jaket-jaket menjadi selimut paling berharga.

Malam yang dingin.

Hatiku lebih dingin. Semua jenis percakapan berhamburan di setiap sudut kereta. Namun ada yang menarik perhatian daun telingaku, percakapan dua orang anak di bangku seberang. Menyita waktu yang benar-benar ngilu.

Saturday 13 February 2016

Bukan senja, Tuan.

Pelangi dan Butir-butir air hujan saat senja | Raihan Uliya

"Sore itu aku berteriak lagi, Dik. Tapi ia berkeringat."

"Siapa?"

"Langit." Begitu katamu dua tahun lalu. Tapi langit tak berpeluh, Tuan. Ia hanya pintar menangis.

"Langit tak perlu menangis, Dik. Ia bisa saja lelah mendarahi setiap laki-laki." Lalu kaubilang ia telah jatuh cinta pada laut. Berbiru-biru. Berhitam-hitam. Berhijau-hijau. Dan senja memuncak, bermerah-merah di ujung sana. Mereka bertukar kasih di ujung laut, di ujung langit. Senja tetap senja. Pun matahari mengejar senja sampai ke ujung sana. Mencari merah. Namun kautahu, langit dan laut tak punya surat izin tinggal. Sengketa pun menyeruak. Matahari membakar laut dan langit menelan matahari. Dendam membuncah di sekujur tubuh senja. Ia menyayat semua cinta. Tertawa-tawa.

"Senja itu kejam, Dik." Bisikmu saat menelenjangi mataku."Namun tunggulah sebentar lagi. Saat perang di ujung senja usai, kau boleh pergi. Senandungkanlah Sailo dari tanah Toraja."

Kau lagi kejam, Tuan. Melebur jadi senja.

Saturday 6 February 2016

Obrolan Sang Bapak

Mendengar obrolan sang bapak tersebut dengan rekannya, seketika hati saya menciut, meringis pedih sekali. Memang, hanya sekedar obrolan yang terkesan biasa bagi sebagian orang di kota ini. Alih-alih tanggapan orang lain, saya hanya mampu menggigit bibir hingga luka, menahan air yang menggelayut di kantong mata.

Beberapa waktu lalu, ada semangat untuk mencari pekerjaan sambilan di kota ini. Ya, standar waktu seorang mahasiswa rantauan. Sempat memilih dan memilah mana yang cocok untuk dijadikan tembakan. Akhirnya, saya putuskan mengirim lamaran, cv, dan berkas lainnya ke suatu perusahaan yang menerima kerja part-time mahasiswa.

Terlepas dari perihal kerja part-time yang akhirnya saya mengundurkan diri dan lebih memilih menjadi seorang freelance, momen dalam angkot saat hendak melamar kerja hari itu bener-bener bikin saya merinding sampai seminggu kemudian.

"Jangan kau bilang sama istriku itu! Biar dia jadi anjing, urusi anak-anaknya sendiri."

Istimewanya, beliau duduk di sebelah supir. Jadi saya tak perlu mengetahui ekspresinya saat mengatakan kalimat menjijikan seperti tadi.

"Halah, cewek di sini murah, dua ratus bisa dapat satu malam! Kau tunggu aku di Putri Hjjau, simpang stasiun," tambahnya dalam percakapan yang si bapak dan entah siapa lakukan lewat telepon.

Entah beliau lupa atau bagaimana, istrinya sedang menangis di sebelah saya. Kulitnya kering, berbasah-basah air asin. Namun, gadis kecil itu hanya sibuk bertanya, 'Mamak kenapa?'

Thursday 4 February 2016

Sekedar Cerita Biasa: Minggu dan Kau, Pria Berkacamata

Minggu dan Kau, Pria Berkacamata
Oleh Raihan Uliya

Aku tak perlu menyanggah bahwa Tuhan memang pintar menciptakan kisah-kisah kita. Bahkan, aku merasa tak tertarik lagi menjadi seorang penulis. Sadar diri. Tulisan seluruh penyair sejagat raya, novelis, atau lain semacamnya saja belum bisa kutaklukan apalagi milik Tuhan. Tuhan Maha Pintar membumbui rasa, menyenggol saraf-sarafku.
Bukan sebab dari mana semua ini berawal. Tahu dirimu saja tidak. Tapi Medan Minggu pagi masih sejuk. Sisa-sisa embun semalam menguap bercampur abu yang sebentar lagi akan memenuhi setiap sudut kota. Sebelum matahari bangun, tentu masih sejuk.
Aku memperbaiki posisi selendangku. Kupilih cream yang dipadukan dengan coklat tua. Kata seorang teman, seleraku memang jelek. Tak begitu suka warna perempuan. Merah muda, misalnya. Namun kurasa, cream dan coklat tua itu lebih manis di Minggu pagi. Aku suka kemeja. Tapi long-dress terasa lebih bersahabat. Mengenakan kaus kaki, namun tidak mengoles apapun di bibir. Tak perlu protes, karena remaja 18 tahun tak perlu bernorak-ria seperti itu. Kalau menjadi perempuan imut menggemaskan adalah cita-cita,