Wednesday 27 January 2016

Cerpen: "Alan, Pulang..."

Oleh Raihan Uliya



Kata Mamak, selepas remajaku pergi, boleh pilih jalan mana saja, apa saja, asal bertuhan. Tapi pagi itu, Mamak terlalu keras meraung. Gemanya sampai ke udara lima rumah tetangga sebelah kanan. Ia bukan tipe wanita yang senang berbagi, melainkan senang mengunci tampang saat hari mulai gelap. Tapi bukan itu yang aku resahkan sejak sejam lalu, melainkan Mamak dan ruangan empat kali empatnya, barangkali tidak ada perkakas kamar yang utuh lagi. Mamak terus saja melempar sesuatu, benturannya terdengar akrab dan jelas di telingaku. Aku tahu. Banyak luka di hati Mamak, namun aku tak pernah paham.

“Ia lebih cantik dariku, kata Alan.” Lebih dari tiga puluh kali istilah itu masuk ke telingaku, obsesi Mamak terhadap Alan begitu kuat. Gadis itu beralis tebal, lekukan hidungnya mungkin saja sempurna seratus enam derajat. Saat aku melihat gadis itu, ia bertaruh, aku akan jadi salah satu saingan para lebah manis seantero jagat raya. Lantas ini taruhan menyebalkan, mengapa aku harus jatuh hati pada gadis dengan lekukan hidung seratus enam derajat?


“Aku tahu, kau suka Alan, kan?”

“Apa aku terlihat segampang itu?” 

“Apa itu masalah?”

Mamak benar. Bibirnya terlalu tipis untuk menggores senyum, terlalu manis, semerah ceri di musim semi. Tulang pipinya terangkat dan aku ingin tahu, Alan.

“Alan menyukaimu.”

“Kenapa bukan kau?”

“Aku bilang, Alan.”

“Kau tahu? Aku tak pernah mengumbar rasa di pinggir jalan.” Para angin berlari, saling bentur-membentur, sempoyongan, menggulung-gulung ujung selendang abu-abu panjang milik wanita bermata tak lipas, hitam legam, di sebelah kiriku.

Apa kau mendengarkanku, Alan? Sungguh aku belum hijau, tak punya kisah etis tentang menemui batang hidungmu, tentang kau dan jalan Mamak. Aku mengerti, kau membalut setiap sudut bola mataku, menguasai setiap rambut yang melapisi kulitku. Apa kau mengenalku, Alan? Kau melihatku? Atau aku yang melihatmu? Hatiku sungguh biru, kalau kau harus tahu.

Tepat subuh setelah hari kemarin, kuketuk pintu kamar Mamak. Ada suara sayup-sayup menggema di setiap sudut kampung, setiap pagi walau dulu aku masih merah, merambat di dinding rumah kami, berlomba-lomba, bukan hal mudah menyampaikan perasaan tentang gema-gema yang tak kau mengerti sama sekali. Menggetarkan perasaanku, setiap kali.

Kuketuk lagi. 

Mamak diam saja. Apa nadiku harus terus tertikam rindu? Sendiri dan sepi adalah dua hal yang berbeda. Ini liburan pertamaku, di pulau seberang, tanah orang-orang mayoritas di negara kami. Aku menghela nafas, kusen pintu kamar Mamak lebih kusam dari yang kukira. Pintu itu menderit, wajah Mamak menyembul dibaliknya. 

Ya Tuhan.

Apa Mamak menangis sepanjang gelap? Kantung matanya membiru bercampur keriput, pun terlalu dingin untuk melirik, melempar tatapan. 

BAM!

Lima jari Mamak memerahi pipi kananku. Sayup-sayup gemaan menjelang terang  mulai pudar, perkampungan kami terasa lengang. Melirik Mamak pun tak berani. Aku tidak sakit. Namun pikiranku berkecamuk, bercampur-aduk. Sial, dimana Alan?

 “Ceritakan aku, tentang kau...”

Bukan kau.

“Dan Alan,” gadis itu tersenyum kecil. Bibir tipisnya bahkan terlalu menyebalkan untuk seorang perempuan berselendang di musim kemarau. Terlalu mengganggu. Ia malah menanggalkan kancing putih berlubang empat di ujung lengan panjang kemejanya dan meletakkannya di sampingku, di atas bangku panjang yang kami duduki, di persimpangan jalan sepi, lima ratus meter dari rumah Mamak. 
Jika ada begitu banyak pagi yang dapat kupilih. Bukan hari ini. Saat lima garis disudut mata Mamak semakin jelas membentuk sungai-sungai kecil. Biar saja aku terlihat lancang, namun bukan saat kedua tangan Mamak telah melingkari tengkukku. Mengusap sunyi di pagi hari, membasahi leher dan kerah kemeja hijauku. Ada hal yang tak pernah kumengerti di dunia ini. Siapa Alan?

“Kau selalu mengingatkanku pada Alan, bahkan baumu,” ia terkekeh, gadis berbola mata biji leci, “Alan selalu membawakanku tulip hitam. Aku benci hitam. Ia terus saja membawakannya tanpa bosan. Aku tetap tak pernah suka tulip hitam Alan. Menjijikkan. Kotor. Hitam. Dua tahun lalu, Alan bilang, tulip itu akan tetap hitam sampai aku mencintai mahkotanya, ia akan berwarna putih. Artinya? Aku tak tahu, malam itu, kali terakhir kutatap mata Alan, menciumi aroma tubuhnya, merasakan bayangannya di remang bulan yang hampir penuh, di atas bangku yang kita duduki sekarang. Alan menyisakan gaduh dalam sarafku. Apa kau juga akan lakukan hal yang sama?”

“Zanbi,” kuperbaiki kalimatnya.

“Baik, kau Zanbi.”

“Siapa Alan?” Lagi. Gadis itu tetap saja mengikat senyum, mengikat senyum seraya nafasnya menderu hebat. Apa kau pikir aku tak merasakan deru menggelikan itu? Apa kau tetap melempar senyum dengan tangan cemas berpeluh yang datang entah darimana? Apa kau tetap tenang tanpa menatap lawan bicaramu? Siapa Alan? Ah ya, lagipula, siapa kau?

Kau dimana, Alan?

Ya Tuhan. Setiap air mata Mamak yang membasahi kerah dan leherku seakan mengadu. Aku rindu, entah pada siapa. Bagaimana mungkin menanam rasa yang baru dan bahkan tak kau mengerti sama sekali? Aku lupa, entah atas apa. Kedua bibirnya bergetar, menampakkan rongga kosong gelap kemerah-merahan. Air liurnya hendak tumpah sembari semena-mena terus mendekap kepalaku dengan ujung-ujung jari kaku, dingin. Mamak, perempuan separuh baya dihadapanku, entah mulai kapan, kesulitan membangunkan pita suaranya. Kalimat-kalimatnya membata, menyisihkan dering jangkrik di tepi sungai belakang rumah kami.

“Tentu aku dan Alan berbeda. Aku seorang muslim, Zan.” Ia tak meneruskan kata-katanya. Pandangannya jauh, tajam. Para penaung bersama awan berubah oranye, namun angin terlalu ramah menyapa kulit keringku, mendesahkan senja, telah tiba.

“Kau tahu Alan,” lanjutnya. “Kupikir aku begitu gamblang.” 

“Apa kau benar-benar tersenyum padaku?” Ia cukup menguji kesabaranku.

“Tak ada yang benar-benar di dunia ini, Zan. Mungkin satu dari seratus orang yang benar-benar bicara padamu, benar-benar mendengarkan, benar-benar merasakan, benar-benar menatapmu, dan benar-benar tersenyum padamu. Apa kau pikir aku percaya, kau benar-benar menanyaiku dengan tampang mengesalkan seperti itu?”

Apa aku benar-benar menanyainya? Ya ampun, pertanyaan macam apa itu? Aku hanya ingin tahu tentang Alan.

“Entah Tuhan yang mengajariku atau aku yang terlampau lancang, jatuh hati,” ia mendenguk, senyumnya segaris. “Berapa tinggimu?”

“Seratus delapan puluh.”

“Kurasa jika kau bersedia membagi senyummu padaku, maka aku akan benar-benar melihat Alan duduk di sebelahku.”

“Aku, Zanbi,” anak ini, mulai menyebalkan.

Mamak melepas pelukannya, wanita tua itu mundur empat langkah dari hadapanku. Sesenggukan. Membekam. Matanya asyik memerhatikan garis-garis tak beraturan pada marmer yang kami pijaki. Ia memejamkan kedua matanya sembari menggigiti bibir pucat, gelap. Menangis sampai suaranya tersendat di tenggorokan.

“Hanya aku yang tak pernah paham, Zan-bi,” Mamak yang menamaiku dengan sebutan itu. Ia terisak hebat.

“Alan bukan orang yang ramah, ia dingin. Kenapa kau menemuiku?”

“Karena Alan.”

“Karena kau kenal aku.”

“Karena...”

“Karena kau tak seberani Alan?”

Sial.

“Tahu apa kau tentang Alan, Zan?”

Kata Mamak, bagi Alan, mungkin Mamak bukan hal yang berharga. Ada wanita lain yang berhasil menyaingi posisi Mamak atau bahkan Mamak memang tak pernah punya posisi di hati Alan? 

“Bagi Alan, tidak ada yang paling berharga selain Mamak,” timbul bercak-bercak air di sela-sela selendangnya yang mulai pudar, “Namun surat Mamak pagi itu, apa saja asal bertuhan. Alan tak pernah awam, Zan. Bulan masih terang, ia lantas bergegas menemuiku pagi-pagi sekali,” ia menghentikan kalimatnya, beroman muka mendung, punggung tangannya berkali-kali mengusap kedua matanya seraya tersedu-sedu. 

“Apa Alan...” Aku mendua hati.

“Ya,” ia memandangiku lamat-lamat, “Alan memutar habis jalannya, Zan. Salahku? Salahku, iya kan?” ia menggoyang-goyangkan kedua lengan atasku, menyumpahi dirinya sendiri. “Tak tahu apa yang harus kusampaikan pada Mamak, salahku kan, Zan? Iya, kan? Ya Tuhan, kalau saja aku tak pernah bertemu Alan,” bibirnya bergetar, sesenggukan, terus mengutuk. Alan, kau...

Langit hampir saja keruh membiru, sekeruh paras Mamak. Kebungkaman masih merajai jiwaku, tak ada yang harus diungkapkan, bukan? Melihat Mamak seperti ini saja sudah lebih dari mengusik pikiranku. Nadiku berdenyut hebat. Entah perasaan apa yang menggelayuti tubuhku, mengganggu, di kantong celanaku.

“Alan memperistri aku yang telah hanyut. Mamak? Entahlah, makan hati. Aku yang paling berdosa, kan, Zan? Ibu mana yang tak tersayat hatinya?” Angin senja tak henti menyapa kulit ku, mengibas selendang abu-abu milik Ana. Dia Ana? Leherku berpeluh, mengalir seperti sungai. 

Sekarang aku yang balas mendekap Mamak. Menciumi keningnya. Membisiki pelipisnya, aku tak mengerti, Mak.

“Tulip hitam terakhir Alan...”

Apa Mamak menungguku? Aku bukan pengecut, tak pernah punya beribu alasan yang harus kujelaskan. Apa Mamak menungguku? Menggebu, hasratku berdiri pada puncaknya. 

“Pun kancing putih berlubang empat dipelukan jarimu.”

Akan selalu ada hal-hal yang tak pernah dapat kau bahasakan. Tak pernah sanggup kau ceritakan. Tentang kau, caramu menyaingi dirimu sendiri.

“Benar-benar kotor,” ia tak menatapku lagi, gadis itu mengepal kedua tangannya, suaranya tercekat pendek.

Bagimu, akan terasa sangat sakral. Apa kabar, Mak?

“Kancing itu, milik Ma-mak.”

SREKK!

“Hanya Alan yang memiliki jam tangan buatanku”

Kulit-kulit tanganku basah, lebih pekat. Cairan merah kental mengalir di pergelangan tangan, merembes sampai ujung jempol kakiku. Aku tak pernah mengerti, Mak. Mulutnya terbuka, di tenggorokan ia sangkutkan ronta. Ada banyak sungai disudut matanya, menatapku iba, membisikkan kata yang tak sempat kuraba. Aku berdosa, Mak.

“Kau Alan, kan?”

“Aku Zanbi.”

“Kau,” mata kami bertemu, “Alan.” Raja siang hampir saja memakai jubah hitamnya.

Aku tak merogoh kantong celanaku, Mak. Aku kalah oleh seseorang di kepalaku. Aku habis pada yang bukan aku.

Tubuhku bergetar, mengguncang rasa yang kubangun sejak lama. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menyakiti orang yang kau tahu betul siapa. Keringat membasahi seluruh bagian kemejaku, telapak tanganku. Jiwaku sepi yang pandai bernyanyi, berteriak sana-sini. Mataku akan kehabisan cairan, sebentar lagi.

Benar aku bermuka tebal. Tangisku parau. Nadiku panas bergejolak. Pikiranku akan meledak. Sebentar lagi. Sebentar saja. Dimana Mamak?

Tuhan...

“Jika tak ada kesempatan yang mengetukmu, ciptakan pintu, Alan...”

Sentuh aku.

“Alan, Pulang...”



Salam Hangat,
Raihan Uliya

2 komentar:

Anita said...

Ya Allah, Kaaaaaak Reeee
aku mesti baca berkali-kali dan ini tuh, dalem banget sih kak :')

gio said...

Re, ngestalk blog kamu seharian bikin aku ngerasa mesti ketemu kamu deh :') bales emailku ya reeee

Post a Comment

Silahkan :)