Saturday 13 February 2016

Bukan senja, Tuan.

Pelangi dan Butir-butir air hujan saat senja | Raihan Uliya

"Sore itu aku berteriak lagi, Dik. Tapi ia berkeringat."

"Siapa?"

"Langit." Begitu katamu dua tahun lalu. Tapi langit tak berpeluh, Tuan. Ia hanya pintar menangis.

"Langit tak perlu menangis, Dik. Ia bisa saja lelah mendarahi setiap laki-laki." Lalu kaubilang ia telah jatuh cinta pada laut. Berbiru-biru. Berhitam-hitam. Berhijau-hijau. Dan senja memuncak, bermerah-merah di ujung sana. Mereka bertukar kasih di ujung laut, di ujung langit. Senja tetap senja. Pun matahari mengejar senja sampai ke ujung sana. Mencari merah. Namun kautahu, langit dan laut tak punya surat izin tinggal. Sengketa pun menyeruak. Matahari membakar laut dan langit menelan matahari. Dendam membuncah di sekujur tubuh senja. Ia menyayat semua cinta. Tertawa-tawa.

"Senja itu kejam, Dik." Bisikmu saat menelenjangi mataku."Namun tunggulah sebentar lagi. Saat perang di ujung senja usai, kau boleh pergi. Senandungkanlah Sailo dari tanah Toraja."

Kau lagi kejam, Tuan. Melebur jadi senja.



Maka akulah yang tersisa. Senja menghantam jantungku di pinggir laut. Kalau saja matahari tahu bahwa senja lebih merah, lebih membakar kenangan yang tenggelam, tentu ia tak pula membakar laut, dan langit tak perlu berlapar-lapar ria. Semua akan baik-baik saja, Tuan. Tak ada yang mati dalam perang lawakan begini.

Namun kita tidak sedang berada dalam dongeng permisuri kerajaan.

Senja benar-benar pemarah. Kau yang mulakan kulit kita tak bertemu. Jemariku dielus angin yang berembus sepanjang laut. Tapi laut tak pula beriak. Ia meredam nafsu sejadi-jadinya. Kau kecup keningku, menelangsa, meraba-raba. Terakhir kalinya kita bercumbu dalam selimut ombak tak beriak. Benar kata orang, laut tak punya hati, Tuan. Ia tak cemburu padaku, padamu, pada entah apa dan siapa.

Kau melenggang penuh amarah. Berguling-guling mencium pasir. Acuhmu kausimpan. Tapi Senja, lihat, Tuan! Senja menghitam! Senja menghitam! Senja menghitam!

Saat itulah kau melebur bersama senja. Kulit-kulitmu mencair. Darah-darah merekah. Laut jadi merah. Matahari sudah mati. Langit berkeringat. Kau jadi abu. Digulung-gulung ombak yang mulai beriak.

Langit lelah.

Mereka menyebutnya 'hujan'.

Senja melarikanmu ke ujung-ujung. Ujung laut, ujung langit. Tempat mereka bertukar kasih.

Sekonyong-konyong aku mencari pisau. Mataku melebar saat mengais pasir lautan. Lalu kudapati pisau yang kuselipkan sebelum kau pergi. Setidaknya aku percaya, kau masih bersemayam dalam nadiku.

Aku tak bodoh, Tuan.

Mulutku melebar. Para gigi berbaris dengan liur yang akan melompat. Aku haus nadi. Kugores nadi-nadi. Cepat. Kurobek-robek kaki. Aku terguling. Kau jahat, Tuan. Aku juga ingin membunuhmu dari nadiku. Lalu kupenggal si leher yang gatal.

Maka, kisahmu hilang.


Raihan Uliya,
13 Februari 2016

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan :)