Oleh Raihan Uliya
Kata Mamak, selepas remajaku pergi, boleh pilih jalan mana saja, apa saja, asal bertuhan. Tapi pagi itu, Mamak terlalu keras meraung. Gemanya sampai ke udara lima rumah tetangga sebelah kanan. Ia bukan tipe wanita yang senang berbagi, melainkan senang mengunci tampang saat hari mulai gelap. Tapi bukan itu yang aku resahkan sejak sejam lalu, melainkan Mamak dan ruangan empat kali empatnya, barangkali tidak ada perkakas kamar yang utuh lagi. Mamak terus saja melempar sesuatu, benturannya terdengar akrab dan jelas di telingaku. Aku tahu. Banyak luka di hati Mamak, namun aku tak pernah paham.
“Ia lebih cantik dariku, kata Alan.” Lebih dari tiga puluh kali istilah itu masuk ke telingaku, obsesi Mamak terhadap Alan begitu kuat. Gadis itu beralis tebal, lekukan hidungnya mungkin saja sempurna seratus enam derajat. Saat aku melihat gadis itu, ia bertaruh, aku akan jadi salah satu saingan para lebah manis seantero jagat raya. Lantas ini taruhan menyebalkan, mengapa aku harus jatuh hati pada gadis dengan lekukan hidung seratus enam derajat?