Wednesday 27 January 2016

Cerpen: "Alan, Pulang..."

Oleh Raihan Uliya



Kata Mamak, selepas remajaku pergi, boleh pilih jalan mana saja, apa saja, asal bertuhan. Tapi pagi itu, Mamak terlalu keras meraung. Gemanya sampai ke udara lima rumah tetangga sebelah kanan. Ia bukan tipe wanita yang senang berbagi, melainkan senang mengunci tampang saat hari mulai gelap. Tapi bukan itu yang aku resahkan sejak sejam lalu, melainkan Mamak dan ruangan empat kali empatnya, barangkali tidak ada perkakas kamar yang utuh lagi. Mamak terus saja melempar sesuatu, benturannya terdengar akrab dan jelas di telingaku. Aku tahu. Banyak luka di hati Mamak, namun aku tak pernah paham.

“Ia lebih cantik dariku, kata Alan.” Lebih dari tiga puluh kali istilah itu masuk ke telingaku, obsesi Mamak terhadap Alan begitu kuat. Gadis itu beralis tebal, lekukan hidungnya mungkin saja sempurna seratus enam derajat. Saat aku melihat gadis itu, ia bertaruh, aku akan jadi salah satu saingan para lebah manis seantero jagat raya. Lantas ini taruhan menyebalkan, mengapa aku harus jatuh hati pada gadis dengan lekukan hidung seratus enam derajat?

Puisi : Kalau Bisa

Oleh Raihan Uliya

Selamat pagi, Ayah
Mari kuberi tahu
Perempuanmu mencuri akalku
Ia membawa lari garis bibirku
Menyusup ke dalam darahku
Lalu semena-mena mengusik sepertiga malamku
Kau tahu?
Pagiku tenggelam dibuatnya
Kelilinglah di surga, Ayah
Culik perempuanmu
Kalau bisa, bawa pulang
Aku rindu

22 Desember 2015

Salam Hangat, 
Raihan Uliya

Friday 15 January 2016

Serius Ini Bukan Cerpen: Kak!

Sekedar, lewat, ya? Hoho


Kak!
Oleh Raihan Uliya

Bola matamu menghitam. Dinding-dinding kamar kita mencair. Kak, jangan marah. Sebentar saja kita tanya Mamak sampai besok. Kak, jangan bodoh. Kau pikir berapa umur Mamak?
Ah, dinginnya bukan main. Jangan pakai jaket. Jangan nyalakan api unggun. Jangan tengok ke belakang, Kak. Tiga jam lalu ada ombak laut di kamarku. Sungguh, ia bukan riak. Ia menggulung-gulung badanku. Tabrak dinding kiri, tabrak dinding kanan. Ia senanar matamu, mengombang-ambing tubuhku sampai gelap. Kamarku jadi basah, lembab.
Ah, basahnya bukan

Cerpen: Angket

Sebenernya ini itu cuma sekedar cerpen lumayan abal-abal buat latihan mingguan pas di grup Nauvabook. HAHA, kalo ganiat mending gausah baca deh wkwk

Angket
Oleh Raihan Uliya

Tak pelak lagi, entah sudah berapa kali Mas Nakib mencuri-curi pandang. Kurasa ia terus menebak apa yang kurasakan. Ia memilih diam, menyetir. Instrumen Morning Rain oleh Jubing Kristianto berhasil menenggelamku di jok belakang. Rasanya lambungku perih, mataku... Ah, Mas Nakib terus melajukan Jeep hitamnya.
“Sudah, Elma....”
Kalau menekuni jurusan Psikologi di salah satu univeritas negeri di Jakarta itu mudah, mungkin aku sudah jadi sarjana setahun lalu. Tapi kali ini ceritanya berbeda,