Monday 27 January 2014

"Selamat pagi, Gisty!" -Cerpen-

Oleh Raihan Uliya



Wanita terlalu banyak kalau harus kau cintai. Ssttt, jangan bilang-bilang pada  yang lain ya, aku punya rahasia besar tentang mereka.



“Ini,” sodornya dan pergi begitu saja. Ah, andai kau tahu betapa hitam biji yang menatapku tadi. Ia terlihat gugup. Sangat gugup.
“Ah, iya makasih..” kataku setengah teriak karena ia sudah lumayan jauh didepan. Aku tak terbiasa memanggil nama wanita itu. Sempat mengungkap tanya siapa pria beruntung yang akan menjadi kekasihnya nanti, aku tak bisa memahami. Bukan aku. Aku tak kan sebodoh itu, menjadi lelaki penunggu. Aku bukan pilihan, mungkin.

Ia memberikan naskah teater yang harus kami tekuni untuk pertunjukan tiga bulan ke depan. Ia mendapat peran utama dan aku seorang -ya seseorang. Kupikir, kau tak perlu tahu aku sebagai siapa. Disana aku adalah pemuda yang membantunya berjuang, merengkuhnya yang ditinggal mati oleh suaminya. Aku mencintainya, secara tidak langsung. Disana. Bukan apa-apa, aku benci peran itu. Aku akan kekurangan oksigen seperti tadi, saat matanya merasuk mataku, lagi. Tak lama, ia mengalihkan pandangan sialan itu dariku dan terburu-buru pergi. Aku tahu, itu terlihat bodoh. Bahkan benar-benar bodoh.
Jam dinding disudut-sudut berlomba menggelinding, semua sudah memutar kalendernya tiga kali. Ini berarti kampus diliburkan. Raja siang menyapaku terpaksa, itu haknya. Wanita itu berdiri dan merapihkan rok kembangnya kemudian duduk manis seperti semula. Ia sudah dua puluh menit berada disana. Sekali-kali menoleh entah kemana. Kakiku menyeret, membuat putusan.
Aku bergumam. Ia menoleh. Kuangkat alisku setinggi mungkin, berharap ia mengerti bahasa tubuhku. Ia memiringkan kepalanya, layaknya bertanya. Kulirik tempat duduk kosong yang satu alas dengannya. Ia mengangkat bahu lalu memalingkan wajahnya ke arah jalan yang dilewati pengendara-pengendara pengiri akanku. Aku duduk saja dan melihat ke arah yang sama dengannya. Ini gila!
Lima menit. Lima belas menit. Para sopir bus yang melewati halte ini kupastikan bosan melihat kami yang hanya duduk tanpa menggubris tawaran mereka. Tak ada yang memulai pembicaraan dalam suasana aneh ini. Baiklah, Ia kucoret dari daftar wanita cantik sekolah. Huh, apa kau benar tak melihatku? Pun senyum tak diberikannya. Layaknya seorang anak bumi bertemu psikopat. Mengerikan.
“Aku bukan hantu” ucapku sinis. Ia mengernyit, setengah kaget dengan ucapanku yang cukup spontan tanpa basa-basi.
“Nunggu siapa sih? Lama..” tanyaku masih tak melihat wajah yang kupuja itu. Ia menggeleng. Tak peduli atau apa? Dasar, wanita sulit.
“Kudengar, sudah banyak pangeran-pangeran kampus yang singgah dihatimu. Hanya itu yang kudengar. Cih, bodoh. Kenapa tak konsisten saja? Kalau begitu terus, mana ada yang mau denganmu, wanita yang tak punya pendirian tetap.” Aku tahu, ini akan terkesan sok bijaksana. “Masih semester lima sudah tahu cinta, lulusin dulu itu kuliahmu. Jangan sok sibuk.” Spontan. Begitu saja. Aku tak berani benar-benar menatap wanita ini. Ia menunduk. Menggenggam tangannya sambil sekali-kali melepas jari telunjuk kanan lalu menggenggam kembali. Kurasa ia terbiasa melakukan itu saat gugup.
“Ssh, diam, udah! Mana tau kamu tentangku. Jangan sok tau ah kamu.” Aku terkekeh. Ia terlihat geram. Jarang-jarang aku bercakap dengannya, manis juga.
“Ya terserah, aku kan cuma kasih kamu jalan lurus biar kamu gak kayak yang lain. Murahan.” Lirikku tajam. Ia mulai menggigit setengah bibirnya. Tubuhnya berkata kaget. Anak ini panikan, pikirku. Ia merogoh tasnya dan mengambil penyumbat telinga yang bisa mengeluarkan beberapa getaran suara itu, entah apa namanya. Kemudian menyumbat telinganya dan menyibukkan diri. Lucu sekali. Seperti kacang rebus hangus saja aku dibuatnya, bicara pada wajan dan kompor-kompor penghasil api. Kesal. Sangat kesal. Kutarik penyumbat telinga itu hingga terlepas dan jatuh disebelah kaki mungilnya yang mengenakan sepatu kets hitam dengan les biru. Ia mendelik. Diam.
“Ini hati, bukan halte, kalau kamu belum tau. Halte itu disinggahi terus, lalu pergi begitu saja saat bertemu bus pengantar ke halte lainnya. Andai kamu tau kalau sel darah merah dirombak dihati, ingat, perombakan menemukan yang baru dan lalu menyelamatkan seluruh tubuhmu, mengalir kesegala arah. Bukan tempat singgah layaknya trotoar pinggiran jalan. Hina sekali, kan?” Kubalas tatapannya, matanya merasuk lagi. Astaghfirullah, lekas kulepas tatapan itu. Aku mulai salah tingkah. Ia tersenyum. Jahit saja mulutku kalau berani mengatakan itu buruk.
“Kamu hanya dengar kabar begitu tentangku, kan? Apa masih ada?” tanyanya lembut.
“Entah, cari tahu sendiri saja. Aku mencoba tak mengenalmu sekarang.”
“Dan sayangnya cuma kata “hanya”, kan? Aku ini, wanita yang ragu pada Tuhannya. Pun cinta aku tak tahu. Aku mencari yang sejalan. Bukan tak ada, hanya Tuhanku tak ajarkan cara yang pantas. Kalau cari yang berbeda, takut diasingkan. Jatuh cinta padamu, misalnya. Aku takkan melakukan itu. Bodoh. Hahahah.” Bola mataku berputar. Mencari kata yang pantas untuk kukeluarkan. Tak mudah memang. Ingat terlintas sesuatu yang kubelikan tadi pagi untuk emak. Kutelusuri isi ransel dengan tangan kananku. Dapat.
“Berbeda lagi ceritanya kalau sejalan, ya? Hahah, ini untukmu. Jangan banyak tanya, pakai saja dan kau akan tahu. Lucu tidak kalau aku berharap keajaiban datang hari ini?” Kusodorkan isi plastik itu. Ia heran, wajahnya penuh tanya. Aku takkan menjawab pertanyaan itu. Toh, ia juga sudah mengerti maksudku, bukan?
“Wanita terlalu banyak kalau harus kau cintai. Ssttt, jangan bilang-bilang pada  yang lain ya, aku punya rahasia besar tentang mereka.” Kataku berlagak detective dengan sikap yang pas di hati.
“Wanitamu?”
“Nah, ini masalahnya! Aku tak punya rahasia tentangnya, belum kutemukan.”
“Pengagum rahasia?”
“Tepat!”
“Mau ceritakan aku sedikit tentang profesi itu?”
“Seperti mencuri-curi pandang darimu, Gisty” Tap! Pipinya senyum memerah. Anak-anak lesung bermain disana. Sempurna, sangat manis. Kurasa.
“Namaku?”
“Aku pengagum rahasiamu” jawabku sambil beranjak pergi dari tempat itu. Malu.
“Kain milikmu, akan aku apakan? Apa harapan terakhirmu?” Tanyanya sedikit teriak agar terdengar olehku yang sudah berjarak lima belas meter dari halte itu.
“Semoga Tuhan kita sama, nantinya. Namanya hijab, pakai saja kemanapun kamu pergi. Kalau jiwamu nyaman, islamlah. Kita akan sejalan. Takkan ada lagi keraguan akan Tuhanmu dahulu.” Balasku yang juga sedikit teriak. Ia tersenyum, melambaikan tangannya ke arahku.
Ini percakapan terpanjang yang pernah kurasakan dengannya dalam catatan waktu sejarah.
Sudah berapa lama aku berdiri disini?
Aku tertawa kecil. Mengingat lesung ciptaan Tuhan dipipinya saat senyum memerah. Tak sadar kalau-kalau manusia memenuhi tempat ini. Aku tak tahu bagaimana harus mendefenisikan tempat ramai  ini. Layaknya Paradoks.
“Papa!” ia memeluk kaki kananku dengan tubuh mungilnya. Lucu sekali. Sambil memamerkan gigi-gigi putih kecilnya yang tersusun rapi disana.
“Ah, Selamat pagi, Gisty!” Kupeluk erat bocah manja yang memelukku tadi sambil menggelitiki perutnya. Ia tertawa geli.
“Maaf, Gisty?” ada wanita dibelakangku.
“Ya, dia anakku. Manis, kan?” Aku menoleh heran. Terbelalak. Matanya berkaca-kaca.
“Ini, kukembalikan, sampaikan salamku pada wanita beruntung yang lebih dulu sejalan denganmu itu” ungkapnya sambil memberiku sebuah kertas yang sempat  diam-diam kuselipkan dalam tasnya ketika wisuda empat tahun lalu. Aku masih terbengong-bengong.
“Mas, sudah ketemu ya? Kenalin, ini temenku, Gisty, masih lajang, nunggu penggemar rahasianya dulu, katanya,” istriku tersenyum kecil. Ia tiba semenit lalu dari belakang selepas bertemu dengan ibu-ibu tua dibelakang sana. Aku diam, tak berani berkutik. Gisty mengenalku. Aku yakin.
“Hush..” Wanita itu mencubit lengan istriku. Dia, Gisty?






“Semoga Tuhan kita sama, nantinya. Namanya hijab, pakai saja kemanapun kamu pergi. Kalau jiwamu nyaman, islamlah. Kita akan sejalan. Takkan ada lagi keraguan akan Tuhanmu dahulu.” Balasku yang juga sedikit teriak. Ia tersenyum, melambaikan tangannya ke arahku. Ini percakapan terpanjang yang pernah kurasakan dengannya dalam catatan waktu sejarah.

6 komentar:

Anonymous said...

ngena banget, lanjutkan dear.. ;)

Anonymous said...

huaaaaaaaaaaaaa apa iniiiiii >.< tapi syakep mbak :)

edi said...

okay, keep writing cantik ^^

ilham said...

Lo cewe tapi nulis jadi cowo, okay, whatever, i like it :)

lima said...

what the... oh, <3

Gisty said...

Eh, sumpah! nama gue Gisty!!!! aaaaa i love your story

Post a Comment

Silahkan :)