Thursday 4 February 2016

Sekedar Cerita Biasa: Minggu dan Kau, Pria Berkacamata

Minggu dan Kau, Pria Berkacamata
Oleh Raihan Uliya

Aku tak perlu menyanggah bahwa Tuhan memang pintar menciptakan kisah-kisah kita. Bahkan, aku merasa tak tertarik lagi menjadi seorang penulis. Sadar diri. Tulisan seluruh penyair sejagat raya, novelis, atau lain semacamnya saja belum bisa kutaklukan apalagi milik Tuhan. Tuhan Maha Pintar membumbui rasa, menyenggol saraf-sarafku.
Bukan sebab dari mana semua ini berawal. Tahu dirimu saja tidak. Tapi Medan Minggu pagi masih sejuk. Sisa-sisa embun semalam menguap bercampur abu yang sebentar lagi akan memenuhi setiap sudut kota. Sebelum matahari bangun, tentu masih sejuk.
Aku memperbaiki posisi selendangku. Kupilih cream yang dipadukan dengan coklat tua. Kata seorang teman, seleraku memang jelek. Tak begitu suka warna perempuan. Merah muda, misalnya. Namun kurasa, cream dan coklat tua itu lebih manis di Minggu pagi. Aku suka kemeja. Tapi long-dress terasa lebih bersahabat. Mengenakan kaus kaki, namun tidak mengoles apapun di bibir. Tak perlu protes, karena remaja 18 tahun tak perlu bernorak-ria seperti itu. Kalau menjadi perempuan imut menggemaskan adalah cita-cita,
tentu parfum bermerek sudah menghujani tubuhku. Namun nyatanya cita-citaku lebih menarik dari sekedar imut menggemaskan. Kupikir sisa pewangi saat mencuci pakaian ini dua minggu lalu masih menempel. Setidaknya, tidak apek dan tetap menjadi wanita normal sampai namaku hilang dari peradaban.
Berterimakasihlah pada Gramedia Book Store. Jangankan kau, bahkan aku bosan menyengir dan melontar tawa beberapa kali. Kau tak kenal aku, pun aku tak pernah berencana akan mengenalmu saat itu.
Hari itu masih pagi. Jalanan lengang. Aku berlari sekonyong-konyong agar tak ketinggalan angkot. Angkot pagi lebih ramah lingkungan, bukan? Jenuh betul dengan rutinitas Senin ketemu Jumat, Sabtu lagi kalau-kalau latihan renang menghantui. Serunya aktivitas sunrise ketemu sunrise. Makanya aku sering rindu pada Minggu, pada kenangan antara aku dan buku yang telah lama tak terjamah lagi. Sembari melepas penat yang begitu menyesakkan kepala, tahu-tahu kakiku sudah menginjak pintu masuk mereka, Gramedia. Toko buku favorit dengan alunan lagu-lagu menarik sepanjang tahunnya.
Biasanya kalau sudah masuk, ya langsung bergegas menyapa rak-rak yang ditimbuni buku-buku fiksi. Maklum, ada rasa bahagia tersendiri bagi pecinta fiksi saat menemui anak-anak fiksi itu. Tapi kali ini ceritanya berbeda, tidak tahu dirasuki apa dan siapa, semangatku lebih membuncah pada buku-buku berbau Hukum dan Psikologi. Rak-rak itu bersebelahan. Mereka menjalin hubungan rukun tetangga sejak lama.
Ada banyak warna saat meciumi aroma khas debu-debu Hukum. Hukum itu sendiri, perdata, pidana, kasus si fulan, konstitusi, kemahkamahan, dan entahlah. Aku tak begitu paham dan hapal judul-judul mengerikan begitu. Sistem politikal benar-benar mebuatku mual. Lain halnya dengan beberapa makhluk yang memang terlihat asyik menekuri isi beberapa buku, ada yang mencari judul-judul tertentu, serta merapal-rapal sesuatu dari bibirnya. Kriteria memang berbeda, walau mungkin mereka juga suka komik Conan.
Sebelum tubuhku lunglai dan sebelum mataku sayu mengitari rak-rak Hukum, aku melirik tetangga mereka. Font Tempus Sans ITC yang digunakan cukup menjelaskan bahwa kata itu bertuliskan “Psikologi”. Aku memahami satu hal, kupikir aku akan mengidap fobia Hukum dan Politik kalau terlalu lama mengulik isi rak mereka lebih dalam. Jadi, tanpa rasa tegang sana-sini, melangkah pulalah aku, menyungging senyum yang kiranya hanya tersungging tiga senti. Gramedia terlalu ramai di hari minggu. Biarlah apa kata orang, toh tampilanku masih rapi, kan? Ya, walau sekedar berbagi senyum bahagia yang entah pada siapa.
Sembari mengais folder di bilik-bilik kepalaku, mataku juga berlagak layaknya seorang mata-mata kelas atas. Aku harus menemukan apa yang benar-benar kucari. Mengeja setiap kata dan kalimat yang terpampang sebagai judul andalan mereka. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Hati ini rasanya sumringah luar biasa. Agak tergopoh-gopoh merapikan selendang yang mulai tak sinkron posisinya, aku buru-buru meraih judul yang kucari. Psikologi Anak. Rak ketiga, tingkat pertama, dan buku paling kanan dari ujung. Lalu semuanya terjadi begitu saja. Bahkan aku harus mengatur nafasku tiga kali.
Kau juga mengambil buku yang sama. Padahal si Gramedia megah ini sudah mencetak dan meletakkan puluhan buku yang sama. Tapi lugunya, kau dan aku mengambil buku yang sama dengan urutan yang sama dan posisi yang sama. Jadilah kita berpandang-pandangan. Lalu, kau tahu, semua orang tahu, saat menagalami ini pastinya kedua dari kita akan berpura-pura mengalah. Memintamu mengambilnya lebih dulu padahal tentu aku juga ingin mengambilnya lebih dulu. Namun rule kita memang begitu. Aku mulai percaya bahwa orang Indonesia ini memang ramah. Setidaknya aku percaya kalau aku juga orang yang ramah. Dan tentu kau juga orang yang ramah.
Aku tidak tahu, apa karena aku terlalu banyak memakan buku-buku fiksi, atau memang hidupku sudah digaris seperti ini. Aku canggung. Kau juga canggung. Mulai pulalah kita menawari satu sama lain untuk mengambil buku itu lebih dulu. Kemudian pun kedua dari kita tak ada yang ingin mengambilnya lebih dulu. Oh, bodohnya. Kurasa moment ini akan kumasukkan di dalam salah satu awkward moment-ku. Kalau buku itu kuambil lebih dulu, aku jadi tak enak padamu. Rasanya lancang betul. Kalau kau yang ambil lebih dulu, aku tak tahu apa kau juga merasa tak enak atau bagaimana. Tapi yang jelas, satu judul buku ini sudah membuat hidupku terasa lebih panjang di hari Minggu.
Sebagai laki-laki yang bijaksana, kau mengambil keputusanmu dengan tepat. Kau ambil dua buku, satu untukmu, satu untukku. Lalu kita berbagi tawa bahagia sekali. O ya, mungkin ini bukan tawa bahagia, melainkan tawa sederhana agar suasana lebih renyah dari yang pernah kita rasakan beberapa menit sebelum tawa bahagia nan sederhana ini terjadi.
“Bukunya buat apa, Mba?”
“Lah, Mas ini bukunya buat apa?”
“Yaaah, siapa tahu alasan kita sama, huh?” Kacamatamu miring. Kau bergumam banyak sekali. Seolah-olah paham betul apa yang sedang kau baca. Sedangkan aku masih melihat-lihat seraya menggendong buku yang menyebabkan kita bertemu, seakan-akan aku sudah mantap memasukkannya dalam kantong belanja hari ini.
“Ya untuk disimpan sekaligus sedikit dipelajari begitulah. Namanya juga nanti bakal jadi Ibu, kan?”
“Lagi hamil muda, Mba? Suaminya mana?”
“Masih semester dua, kali Mas.”
“Aku semester enam. O, masih muda udah ada yang ngelamar, gitu?” Aku tertawa. Tapi ketahuilah, saat itu aku tertawa dengan keadaan tersinggung luar biasa. Syukurnya kau rapi sekali. Kau tak pakai celana jeans layaknya yang biasa orang lain kenakan. Kau memantapkan kemeja berlengan panjang dan kau kaitkan tiap kancingnya. Rambutmu tak ada norak-noraknya. Kau pilih hitam di pinggiran kacamatamu. Seleramu  bagus. Kuku-kukumu kau rawat dengan baik, tidak panjang, tidak kekinian. Ditambah aksesoris jam tangan yang entah keluaran mana. Kurasa kau lebih mirip kurir JNE dari pada seorang mahasiswa tingkat enam. Sebab kau rapi,  tawaku agak lebih ikhlas dari kenyataannya.
“Kalau begitu mah, aku saja yang ngelamar si Mba ini, gimana?” Jadilah kita saling mengernyitkan dahi bersamaan. Kau menanti jawaban candaan lucumu, sedangkan aku bingung menjawab candaan yang tak lucu begitu. Hari Minggu ini mengambang antara lucu dan tiada lucu. Sungguh mengharukan bukan main.
Hari itu berlalu begitu saja. Hari saat pertama kali aku kenal baumu. Hari kau melontarkan candaan seorang pria semester enam. Hari Minggu yang membuatku lebih memilih senyum dan bertingkah bodoh terhadap candaan tak lucu itu lalu memutuskan untuk pulang. Saatnya makan siang.
Minggu selanjutnya begitu lagi, sampai aku menyadari bahwa kau bukanlah kurir JNE, melainkan salah satu karyawan part-time di toko legendaris itu. Melihatku mampir, kau akan berakting seperti sales dan melakukan beberapa pekerjaan tour guide. Harusnya kau tahu, bertahun-tahun aku dan toko ini merajut kisah persahabatan yang baik dengan penuh pengertian satu sama lain. Tak perlu sistem guiding, aku sudah mahir lebih awal. Tujuanku hanya sekedar menghabiskan waktu menelaah beberapa buku yang belum habis kubaca. Belinya ya nanti saja, belakangan kalau memang penting luar biasa. Tapi karena kau seakan berprofesi layaknya pengawas pribadi yang dikirim ayahku jauh-jauh hari, aku benar-benat merasa terhalangi.
“Kalau ayahmu nanti kudatangi, Mba nerima lamaranku tidak?” tanyamu lagi dan aku lupa berapa kali kau menanyakan itu sepanjang kita bertemu beberapa minggu terakhir. Pasalnya, aku merasa tak enak pada seluruh rekan kerjamu yang selalu bisik-bisik manja saat mata mereka menangkapku. Namun roman mukamu yang aduhai itu terlalu datar, penuh kepercayaan diri, dan tak bisa diganggu gugat. Menghelalah aku sejadi-jadinya.
Pagi ini juga masih pagi. Maksudku, aku bangun lebih pagi. Libur tiga minggu. Ah, itu masalahnya! Liburan di kota itu tidak sedap. Tiket kereta api sudah di pesan dan aku akan kembali esok pagi, pulang ke kampung halaman. Pengalaman naik kereta api sampai tujuan memang belum ada yang asyik diceritakan. Menunggu, masuk mencari bangku, katakan ‘Hai’ dengan orang yang duduk disebelah kiri dan depan, menatap ke luar jendela, sedikit mengantuk, ditanya lalu menjawab, sampai. Apa yang menarik? Hidupku memang suka bersenggama dengan kedataran, apapun bentuknya asal sebuah kedataran. Di kampung, mana ada yang namanya Gramedia, makanya aku mengucap syukur berkali-kali sebab tak melihat wajah berkacamata aduhai itu lagi.
“Dua jam lagi, tunggu saja di depan pintu.” Benar saja. Akhirnya aku yakin bahwa rumahku tak lebih dari sebuah wisma. Kupasang mimik senormal mungkin, melawan hoyong sisa bau parfum ibu-ibu papan atas di kereta api tadi. Ingin hati mengomel tapi tak tahu pada siapa. Ayah tengah di perjalanan pulang dari bandara. Rumahku mungkin sudah ditempati berbagai jenis dedemit sejak tiga bulan yang lalu. Kami hidup nomaden, sebulan bisa menempati tiga kota sekaligus. Siapa yang katanya orang purba? Bedanya, kami hidup di zaman tulis-menulis di dalam telepon genggam, makanan yang lebih normal, dan berbahasa layaknya masyarakat normal pula.
Dua jam bukanlah waktu yang sebentar. Bisa dipakai cuci pakaian, nonton televisi, atau bahkan menguras bak mandi dan membersihkan rumah hantu ini. Wajahku terkesan lebih kucel, sedikit nyengir kuda saat mobil sang ayah tiba dengan memamerkan klaksonnya empat kali. Ayahku memang norak. Tapi semua tersangkalkan saat ayah keluar dari pintu penumpang. Mana ada taksi di kampung nan ayu bersahaja ini. Tanpa gontai, ayah bahkan lupa mencuri-curi pandang padaku. Ia buru-buru membuka pintu dan memanggil si supir yang duduk di bilik depan mobil. Menawarkan teh hangat dan beberapa biskuit. Bukan, bukan itu. Ayah menyuguhi nasi uduk. Aku percaya itu nasi uduk Mak Ijah, selang tiga rumah tetangga sebelah kanan.
Aduhai. Mata sembab mempengaruhiku, terpelongo-pelongo saat kutatapi gerak-gerik sang supir yang tengah beranjak menuju kami. Maksudku, Ayah. Rasanya berjuta-juta batu menghujani kepalaku dari langit. Seperti orang bodoh tak tahu bagaimana bersikap layaknya perempuan yang berwibawa dan agak elegan, kulirik ayah tajam-tajam. Ayah pasti mengerti, kami sering melakukan telepati dari hati ke hati.
“Bukan supir, Put. Kamu ndak ingat anaknya Om Haris?”
Ah, kugigit bibirku kuat-kuat. Seingatku anak Om Haris tak punya masalah dengan mata. Tapi, aku memang sempat membaca tulisan ‘Ridha Wibowo’ pada nametag yang ia kenakan saat bekerja part-time di Gramedia.
“Apa kabar, Putri?”




Medan, 04 Februari 2016

8 komentar:

Dika said...

Padahal tulisan ini sejenis curhat kan han wkwkwk emang lu paling bisa dah han ngalihin wuahahahaha

Rahasia said...

makasi dika udah ngabari tulisan Mba Raihan yang ini, tapi sumpah ngakak banget wkwk kok rasanya nama gue jadi Ridha Wibowo han? *senggol

Unknown said...

lu apaan sih, ngaco sering nyemak kaya nyamuk musim dingin heuheu

Unknown said...

emang salah aja gua di mata ku dik hiks

Dika said...

emang bener aja gua di mata lu han, jadi haru gini eh

Dika said...

asal imut menggemaskan kan han wkwkwk

Unknown said...

Ah tapi lu ngomen masa pake Name sih kagak pake akun gugel, ndak gentle wkwk

menuhin notif email gue aja waaaaah

Rahasia said...

Males login han :p
lagian ntaran lo malah klepek-klepek sama gue, kan gue baik, nggak tegaan

Post a Comment

Silahkan :)