Friday 15 January 2016

Cerpen: Angket

Sebenernya ini itu cuma sekedar cerpen lumayan abal-abal buat latihan mingguan pas di grup Nauvabook. HAHA, kalo ganiat mending gausah baca deh wkwk

Angket
Oleh Raihan Uliya

Tak pelak lagi, entah sudah berapa kali Mas Nakib mencuri-curi pandang. Kurasa ia terus menebak apa yang kurasakan. Ia memilih diam, menyetir. Instrumen Morning Rain oleh Jubing Kristianto berhasil menenggelamku di jok belakang. Rasanya lambungku perih, mataku... Ah, Mas Nakib terus melajukan Jeep hitamnya.
“Sudah, Elma....”
Kalau menekuni jurusan Psikologi di salah satu univeritas negeri di Jakarta itu mudah, mungkin aku sudah jadi sarjana setahun lalu. Tapi kali ini ceritanya berbeda,
lima judul skripsiku ditolak saat sidang, bahkan salah satunya belum sempat kuutarakan pada dosen penguji. Masih judul, ditolak. Tahu aku yang akan sidang, mereka senyum-senyum geli. Kupikir wajahku terlalu familiar setahun belakangan.
Hiruk pikuk kota Jakarta benar-benar memenatkan. Kuputuskan pulang ke Surabaya Senin besok. Mungkin barang satu-dua bulan cukup untuk menemukan judul skripsi. Mungkin menemani Ibu di rumah atau bercakap hangat dengan Bapak mampu mengusir kesialanku selama di Jakarta. Ada yang menarik di Surabaya, kata Mas Nakib suatu kali.
Mas Nakib yang melamarku dua tahun lalu. Haru betul saat Bapak memeluknya erat di beranda. Tiap malam seperti ada surga di rumah kami. Alangkah sumringahnya senyum Bapak, merasa ketiban harta karun dari langit. Rasanya ia lebih cinta Mas Nakib daripada aku.
“Masih jadi badut, Pak?”
“Masih, ‘Nduk’.” Hobi, katanya. Artinya sudah jalan sepuluh tahun Bapak jadi badut. Ia keluar kamar, gagah bersama setelan warna-warni memintaku memasang wig merah di kepala yang hampir tak ada lagi rambutnya. Juga Perut yang akan menggembul sesak oleh kapas-kapas bantal. Ia berkacak pinggang di depan cermin, berputar memastikan tampilannya enak dipandang mata. Malam ini Bapak harus menginap. Tebal pula riasannya sampai satu senti meter. Katanya ia disewa dua hari dan ibu bilang sudah biasa kalau esok pagi Bapak baru bisa pulang.
Angketku setumpuk di atas meja. Tak ada Bapak artinya tak ada guyonan tengah malam. Apalagi Ibu akrab dengan kursi rodanya seharian. Ibu bukannya tak sedekat aku dan Bapak. Ia tak suka diajak bicara, bercanda, dan membicarakan pernikahanku ataupun Mas Nakib. Cuma Bapak yang antusias menyinggung hal itu. Ia juga tak suka ditanya kronologi kelumpuhannya. Ibuku pendiam bukan main.
Mas Nakib memutuskan tak ikut ke Surabaya. Namun angket yang kusebar –dengan bantuan seorang teman– di tempat pelacuran itu memaksa hatiku untuk membulatkan tekad ke Surabaya esoknya. Banyak jawaban para PSK yang begitu menggetarkan hati. Jam satu malam nanti, aku janji akan mengitari tempat itu, mencari sumber yang dapat kujadikan batu loncatan saat sidang. Sudah jam dua belas, tak ada suara, tak ada yang membuka percakapan. Kuhampiri Ibu di kursi roda, mengantar dan memapahnya agar dapat menyentuh ranjang. Aku pamit. Jangankan menatap, melirik sedikit saja tak Ibu lakukan sedari tadi. Ia berbalik membelakangiku, menarik selimut hadiah pernikahanku dengan Mas Nakib sampai wajahnya tak menyembul lagi. Dulu Ibu menikah muda, dan sekarang hampir berkepala empat. Pun Bapak, selisih umur kami hanya dua puluh satu.
Mesinnya sudah menyala, langsung saja kuinjak pedal gas seraya membelok-belokan setir. Tak sulit mengendarai Jeep hitam Mas Nakib, tapi pikiranku terasa lebih sulit, keruwetan. Kalau Bapak sedang tak di rumah, bagaimana Ibu bisa melakukan hal-hal normal? Aku sudah sampai tikungan menuju daerah itu. Lama di Jakarta membuatku lupa banyak jalan dan perempatan sekitar. Bertanya pada Bapak takut dikira yang tidak-tidak, kalau tanya Ibu sudah pasti tak dijawab. Tapi kata orang-orang, jalan yang kuambil sudah benar, walaupun bapak-bapak tukang becak ‘anjelo’ di persimpangan bikin risih tak tanggung-tanggung. Anjelo; antar jemput lonte, begitu mereka menyebutnya. Katanya, kalau pakai mobil, ya, terus saja masuk gang, nanti bisa cari tempat parkir. Di tempat sempit begini? Sayang betul, takut terbentur.
Memang, tak ada pemandangan nyaman kalau sudah malam begini. Beberapa angket menarik sudah kukantongi. Jelas saja banyak yang melambai-lambaikan tangan, menyetop, bahkan mengetuk-ngetuk kaca mobilku. Mas Nakib mengganti kaca hitam mobilnya bulan lalu, mungkin mereka mengira bahwa aku seorang pria yang  haus dan siap menggaji mereka malam ini. Ayolah, ini begitu menyebalkan. Begini saja belum cukup sabar, kurasa dulu aku salah ambil jurusan kuliah. Sudah lampu jalan memakai kerudung. Hidup segan, mati tak mau. Remang!
Selagi mencari tempat parkir yang layak, membunyikan klakson pun tak mengalahkan riuhnya suasana malam komunitas pelacuran kebanggan mereka. Baiklah, aku ragu. Apa bisa bertahan barang dua jam saja di sini? Atau malah aku bisa larut sampai pagi? Ya Tuhan, memikirkannya saja benar-benar membuatku geli. Tak ada yang main di sudut, mereka bertebaran menggoda apa saja yang lewat. Bahkan ini lebih dari sekedar macet yang begitu memuakkan. Kutebak, yang rambutnya pirang memakai rok dua puluh senti meter diatas lutut itu masih SMP. Ia melenggak-lenggok pintar masuk ke dalam gedung abu-abu di sebelah kiriku, entah tempat macam apa di sana. Setidaknya mereka masih normal, penyuka lawan jenis. Aku mengatur napas, menyugestikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kuputar setir ke kiri. Jalanan mulai terasa becek juga lengket. Hujan masih belum berhenti, tapi masih cukup ramai untuk ukuran tempat pelacuran. Banyak warna lampu yang menghiasi gedung-gedung sebelah kanan. Tidaklah luas, hanya mobilku yang jalannya lamban. Mataku sibuk melihat sana-sini. Bahkan aku lupa apa yang harus kulakukan jika nanti harus turun. Kalau sebelumnya banyak perempuan tulen berserakan dengan balutan kain seadanya, di sini lain lagi. Hujan tinggal sisa gerimis dan tempat ini lebih nyaman. Ingin sekali kuhirup udara malam mereka, aku membatin bertanya-tanya, jadi kuturunkan pula kaca jendela mobil. Tahu aku seorang wanita, tak ada yang menyetopi. Mana selera! Toh, mereka laki-laki yang menyukai laki-laki lainnya. Tapi yang kutahu, laki-laki tak memakai rok mini apalagi kutang berbusa. Lalu mereka ini apa? Mual.
Drit!
Ban Jeep hitam Mas Nakib berderit. Aku tertegun, mobilnya kurem mendadak cuma-cuma. Seperti ada yang menusuk-nusuk perutku barusan. Orang-orang marah, berkerumun meneriakiku dari luar, naik pitam takut mati hampir tertabrak. Tapi badanku rasanya terbakar api unggun Bapak, Desember tahun lalu. Tak ada yang menghalangi lampu sorot Jeep hitam Mas Nakib. Ia menerawang sisa gerimis yang mulai kekuningan. Lampu jalan juga remang kekuningan. Aku menarik nafas panjang, berharap rabun dan silindrisku kambuh sekarang juga. Suasana kisruh, pikiranku lebih kisruh. Mataku mulai perih, berair. Jantungku berdetak tak tahu tempat. Mereka masih berteriak sampai serak. Gigit bibir, kuacak-acak angket yang kubawa. Satu per satu, memastikan sesuatu sampai pada lembaran ketujuh belas; si tunggal tak beri apa-apa, melacur juga bisa melucu, duitnya lagi banyak, lagi mudah.
Kubanting pintu mobil. Semua angket kubawa turun. Menembus banyaknya gelagat laki-laki bukan laki-laki yang menyumpah serapah di udara. Gerimis masih terasa, angin malam juga ikut terbaca. Aku masuk dalam cahaya lampu sorot Jeep hitam Mas Nakib. Hatiku teriris-iris gerimis. Mataku tumpah. Laki-laki berkepala empat itu masih sibuk merapikan ‘mini dress’-nya, memadatkan dada dengan kapas bantal, membelakangiku yang kepanasan di tengah gerimis. Tapi, Mas Nakib belum bicara. Kurobek angket-angket itu di depan wajahnya. Kapan ia ke Surabaya? Ia baru saja mengelus kepala Bapak. Bibirku bergetar, tak ada yang harus dijelaskan.
“Ceraikan aku, Mas!” Bapak berbalik. Matanya seakan mau loncat, terbelalak. Aku menyapu gerimis yang mulai membasahi sebagian wajahku. Bukan saat yang cerdas untuk menangis. Buang-buang air mata! Tapi wanita mana yang tak perih hatinya? Ya Tuhan, aku tak secerdas itu. Semua mata mulai tertuju padaku, pada Bapak, pun Mas Nakib. Aku meremas ujung bawah kemejaku, menahan marah di tenggorokan. Aku berlari masuk ke dalam mobil, mengusap hidung, mengusap mata, menutup mulut. Mas Nakib mengejarku dan mengambil alih setir mobil. Kupilih jok belakang, bersender menangis sejadi-jadinya.
“Sudah, Elma....”
Cukup di depan beranda. Mas Nakib kutinggal lari masuk rumah. Biarlah. Ia bukan laki-laki. Kuatur napasku di depan cermin, sekali-kali melirik Ibu yang masih terlelap. ‘Semua akan baik-baik saja, Elma’. Air mataku mengering, kuperbaiki tampilanku senormal mungkin. Tak perlu menangis menjelang pagi.
Bapak pulang. Ia mengetuk pintu tiga kali lalu masuk menghampiriku. Riasannya lebih berantakan. Seperti biasa, ia kembali sebagaimana ia pergi. Setelan badutnya masih warna-warni, wignya masih merah mengeriting, perutnya tetap gembul. Sudah berapa lama Bapak-ku sepintar ini?
“Badut itu lucu, Pak. Bukan cantik.”


Medan, 09 januari 2016

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan :)