*Dimuat di Tabloid Suara USU edisi 106 April 2016
Oleh Raihan Uliya
INDUNG
Ilustrasi oleh Arman Maulana Manurung | Redaktur Cetak Suara USU |
Kata
Bapak, Mak sudah mati. Dadanya tak lagi ranum sebab ia lahir tanpa rahim. Aku
diam, tak mau tanya Bapak lagi.
Kami bertuhan Padi. Kiranya
begitu ucap Bapakku lima tahun lalu. Pun belalang adalah para Nabi-nabi. Tapi
Mak, tak kenal cinta pada Padi. Ia ajak aku menyembah Tuhan lain pula. Aku
bilang aku bertuhan Padi. Mak bilang Padi bukan Tuhan. Aku tanya kenapa Tuhan
begitu ramai. Mak jawab Tuhan tak ramai, hanya aku harus pintar memilih. Maka aku
pilih Padi. Mak beri aku waktu pilih lagi pandai-pandai. Pilihanku tetap Padi. Tak
sampai tiga menit, Mak mati.
“Kau harus melacur.”
Maka hari itu aku tahu, kau akan
menyandang predikat garis turunan moyang kita: pelacur. “Bukan di jalanan,
Sayang,” uajr laki-lakimu, pelan, sedingin angin dermaga malam. Kakimu diciumi
berkali-kali oleh laut. Kau diam. Di ujung sana, ada langit dan laut yang
bertemu. Senja tadi, mereka menelan matahari hidup-hidup. Ini malam berat, tapi
kau harus.
Kata orang kau sintal. Mak juga
bilang begitu padaku. Perempuan penyembah Padi harus melacur saat berkepala dua.
Mak ingatkan tentang aku lima tahun lagi. Banyak orang-orang berbalut kain
hijau datang ke kampung kami setiap Januari. Orang-orang itu besar-besar,
hitam-hitam, bengis-bengis. Orang kampung menyebutnya orang hijau. Pada satu
malam orang hijau bawa Bapak. Lalu aku
tanya Mak ke mana Bapak pergi.
“Perang belum usai, Dek Nong.”
Hari-hari Mak bagi cerita tentang
kau. Tapi, dulu Bapak bisik aku kalau kau tak lebih dari sekadar dongeng orang
kampung kurang maju. Jika matahari sudah hidup lagi pagi-pagi, sauh-sauh sudah
sampai di dermaga, air laut tenggelam lagi jauh-jauh, mataku akan berbinar. Kau
seperti hantu dalam kepalaku. Aku pikir kau tiap malam, saat bulan masih bulat
sampai bulan tinggal segaris di makan langit. Burung pun tak berkidung saat
kutanya harus percaya Mak atau Bapak. Namun, entah kenapa, aku percaya tentang
mencari jawaban di laut. Mak bilang, kau datang dari laut.
Kata Mak, kaubilang sejak dulu
sudah begitu. Takdir penyembah Padi tak akan pernah melongok ke mana-mana. Orang-orang
hijau itu memperladangimu, atas pinta laki-lakimu. Puan ayu memang harus memperladangi
pada masa itu atau laki-lakimu akan berdarah lebih cepat. Bergram-gram air
menggelayut di kantong mata setiap puan. Orang merah jangan tanya. Orang merah,
orang hijau, sama saja.
“Jangan menyembah Padi, Dek Nong.
Bapakmu tak suka.”
Mak peluk aku erat. Napasnya
menderu di sekitar tengkukku. Ia ceritakan kau lagi. Tuhan cuma satu, bisiknya.
Masa itu, masa pertama orang hijau temukan kampung kami. Suara para tetua
diredam dan hilang tiga hari kemudian. Apalagi kabar Tuhan, jumpa Tuhan saja
tak pernah. Walau begitu, orang kampung berkukuh Tuhan benar ada, termasuk kau.
Tapi orang hijau dan orang-orang merah minta banyak puan ayu nan subur. Mereka
berbondong-bondong turun ke pemukiman penduduk, menebas gubuk yang mulai lapuk.
Amarah membuncah di setiap sudut kampung. Tanah kami jadi kejam berdarah-darah.
Sungai-sungai jadi merah, ikan-ikan mati, parit-parit bau busuk.
Kau memulainya, Ni.
Kau berteriak lantang di depan
orang-orang hijau, orang-orang merah. Menyumpah, merapal-rapal bahasa langit.
Tapi, Mak tak lanjutkan lagi kisahmu. Kau dan kisahmu menggantung di seluruh
sarafku. Mak diam sejenak. Ia melepas pelukannya dan menatap jauh ke ujung
laut. Angin dermaga menyibak rambutku, mengeringkan sungai di garis-garis sudut
mata Mak. Kisah itu berhenti sampai Mak menarik napas lagi. Ia tak menatapku
lagi kali ini. Katanya, kau mati di atas tumbuhan Padi. Tubuhmu terbagi. Dan
mereka mulai menyembah Padi.
“Saat kausembah Padi, artinya kausembah
Ni Rasti, Dek Nong.”
Padi, Ni Rasti! Kami para
penyembah Padi berhutang budi pada Ni Rasti. Mendiang Ni Rasti dikirim ke laut.
Kita yang betuhan Padi harus menebus dosa, tak boleh ada kesalahan yang sama
saat jadi puan berkepala dua. Begitu aturannya. Kali ini lagi sama, orang hijau
sudah sampai. Orang kampung ternyata tahu diri, para puan terpilih sudah
diasingkan barisannya. Aku belum juga lihat rupa Bapak sedari kemarin. Lalu aku
tanya Mak tentang Bapak. Kata Mak, tak perlu tanya Bapak, asal aku tak sembah Padi.
Bisik-bisik menyelimuti barisan orang kampung. Sempat aku curi dengar, kalau
tak sembah Padi, Bapakku tak akan pulang lagi. Mak tak akan jumpa Bapak lagi.
Aku tak akan peluk Bapak lagi. Bapak akan mati, seperti matinya surau di masa
dulu.
Aku kembali menata sesuatu,
perasaanku.
“Aku sembah padi saja, Mak,” kueja
kalimat itu lamat-lamat.
“Sejak kecil aku sudah sembah
padi, Dek Nong. Ketahuilah satu hal, sejatinya, apa yang kau lakukan adalah
tentang cara memilih jalan yang menurutmu pantas untuk kau pilih. Tapi tentang
ber-Tuhan pada apa dan siapa, kau harus pintar. Memilih Tuhan artinya memilih
moral yang akan kau teruskan pada keturunanmu. Itu saja, lalu terserah.”
Mataku berat, kugigit-gigit
bibir. Lalu laki-laki hijau itu datang, memecah lamunan yang telah kurajut
rapi-rapi. Bapak pulang, tapi aku tak nampak Mak serta. Tubuhnya bau keringat
campur debu seraya menghela napas berat.
“Kau mati saja daripada harus
sembah Padi.”
“Di mana Mak?”
“Mak tak ada, Dek Nong!”
2 komentar:
waah berat, masih gagal paham ceritanya ehehe. tapi ketje
Hai Arum, terimakasih sudah membaca ^^ cerita ini menjelaskan bahwa tidak semua anak perempuan lahir dengan kebebasan dan jalan hidup yang sama, kadangkala, sebagian dari mereka harus mengikuti adat amoral yang mewabah dan menjadi rahasia umum tanah kita, melacur misalnya hehe
Jangan lupa, kamu bisa baca cerita saya yang lain di blog ini dan artikel-artikel saya di Hipwee yaaa
Post a Comment
Silahkan :)