Ya, kurasa ini masih pagi yang sama seperti pagiku dihari sebelum hari ini.
Tapi pagi ini, tidak ada suara gaduh ketukan pintu kamar dari luar saat adzan subuh menggema dikampung ini. Tidak ada suara pompa air dikamar mandi dan semua lampu masih padam. Riuhnya hentakan kaki yang berlari-lari diruang tamu juga tak tertangkap oleh telingaku. Gorden jendela masih terbentang menyelimuti kaca-kaca yang dipenuhi embun.
Pagi ini, al-fatihah dan ayat suci al-quran tidak menggetarkan dinding dan tiang-tiang rumah kami, tidak ada air hangat untuk meneguk secangkir kopi, tidak ada nyanyian dari radio, tidak ada tayangan televisi, tidak ada gelak tawa, dan gula pasir masih diam diwadah putih dapur kami.
Benar, ini masih pagi dirumah yang sama, kan?
Aku menghela napas panjang. Mengaitkan gorden kepinggir jendela, tentu saja embun menghalangi batas pandang. Mengambil kunci pintu diatas lemari, memutar kunci, lalu membuka pintu depan. Mengenakan sepasang sandal tiga puluh ribuan dan berjalan hendak membuka pintu pagar yang masih terkait gembok. Mudah, pintu tak tergembok lagi.
"Eh, Liya. Ibu sama Bapak teh sudah balik kerja? Ohya, ini, kemarin bapakmu kasi surat ini sama akang, tapi belum buka, kamu bae lah yang buka," pemuda berlesung pipi kesayangan bapak, anaknya om aceng, teman karib bapak, tentu sudah gagah sepagi ini entah hendak kemana.
Aku mengernyitkan dahi, hati-hati memberi arti pesan milik bapak.
"Kunaon teh?"
Aku menggeleng melempar senyum.
"Akang mau kemana?"
"Akang mau ngasi tau, angkot yang lewat sini lama datengnya, daripada daripada kan ya, akang antar kamu ya? Mau kepasar, kan?"
-Kamu jaga anak bapak, ya.
Salam Hangat,
Raihan Uliya
Tapi pagi ini, tidak ada suara gaduh ketukan pintu kamar dari luar saat adzan subuh menggema dikampung ini. Tidak ada suara pompa air dikamar mandi dan semua lampu masih padam. Riuhnya hentakan kaki yang berlari-lari diruang tamu juga tak tertangkap oleh telingaku. Gorden jendela masih terbentang menyelimuti kaca-kaca yang dipenuhi embun.
Pagi ini, al-fatihah dan ayat suci al-quran tidak menggetarkan dinding dan tiang-tiang rumah kami, tidak ada air hangat untuk meneguk secangkir kopi, tidak ada nyanyian dari radio, tidak ada tayangan televisi, tidak ada gelak tawa, dan gula pasir masih diam diwadah putih dapur kami.
Benar, ini masih pagi dirumah yang sama, kan?
Aku menghela napas panjang. Mengaitkan gorden kepinggir jendela, tentu saja embun menghalangi batas pandang. Mengambil kunci pintu diatas lemari, memutar kunci, lalu membuka pintu depan. Mengenakan sepasang sandal tiga puluh ribuan dan berjalan hendak membuka pintu pagar yang masih terkait gembok. Mudah, pintu tak tergembok lagi.
"Eh, Liya. Ibu sama Bapak teh sudah balik kerja? Ohya, ini, kemarin bapakmu kasi surat ini sama akang, tapi belum buka, kamu bae lah yang buka," pemuda berlesung pipi kesayangan bapak, anaknya om aceng, teman karib bapak, tentu sudah gagah sepagi ini entah hendak kemana.
Aku mengernyitkan dahi, hati-hati memberi arti pesan milik bapak.
"Kunaon teh?"
Aku menggeleng melempar senyum.
"Akang mau kemana?"
"Akang mau ngasi tau, angkot yang lewat sini lama datengnya, daripada daripada kan ya, akang antar kamu ya? Mau kepasar, kan?"
-Kamu jaga anak bapak, ya.
Salam Hangat,
Raihan Uliya
2 komentar:
Rehaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan
Duh duh duh han, mau lo apasih? Bikin pembaca bego kaya gue makin galau?
Post a Comment
Silahkan :)